-
Utang negara jadi risiko nomor satu bagi kelangsungan masa depan generasi bangsa. Ia jadi Risiko antargenerasi yang hanya digunakan untuk memakmurkan satu generasi saja.
-
Salah satu cara pemerintah dalam menutup utang adalah dengan meningkatkan pendapatan pajak. Ironisnya pajak untuk kelas menengah ditingkatkan sementara untuk kalangan konglomerat diringankan.
-
Undang-Undang Dasar kita mengamanatkan ekonomi berkelanjutan di mana kemakmuran harus diwariskan kepada generasi masa depan. Maka berutang untuk kepentingan satu generasi saja jelas menyalahi amanat konstitusi.
Oleh: Grady Nagara
Laporan risiko global (Global Risks Report) 2023 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) baru-baru ini menunjukkan bahwa krisis utang (debt crisis) menjadi risiko nomor satu bagi kelangsungan masa depan Indonesia. Temuan ini masih konsisten dengan laporan tahun lalu dalam konteks Indonesia di mana risiko nomor satu, selain debt crisis, adalah kerusakan lingkungan akibat perbuatan manusia (human-made environmental damage).
Bukti empiris tersebut mengonfirmasi bahwa krisis utang dan kehancuran lingkungan berpotensi menjadi beban utama bagi gen Z dan milenial di masa depan, sebagaimana dipaparkan tulisan sebelumnya.
Baca Juga: Utang Pemerintah dan Beban Masa Depan Gen Z
Dua negara Asia Tenggara yang secara konsisten menempatkan krisis utang sebagai risiko nomor satu dalam dua tahun terakhir: Indonesia dan Thailand. Suatu negara dikatakan krisis utang (debt crisis) ketika pembiayaan dari pajak tidak lagi mampu menopang kebutuhan belanja negara secara jangka panjang.
Pada gilirannya, hal ini menyebabkan pemerintah terjerumus pada jebakan utang (debt trap). Masalah debt trap semakin buruk ketika utang-utang yang jatuh tempo harus dibiayai kembali (refinancing) dengan menerbitkan utang baru.
Jebakan utang semakin menghantui Indonesia karena nyatanya pendapatan perpajakan masih terlampau rendah. Dilaporkan pada Desember 2022 lalu, rasio pajak terhadap PDB hanya berada di angka 9,6%. Persoalan berakar pada rendahnya kepatuhan pajak dan sikap “murah hati” pemerintah untuk memberikan pengecualian dan diskon pajak, bahkan cenderung melakukan pengurangan perpajakan dalam jangkauan lebih luas.
Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Ancaman terhadap Generasi Masa Depan
Ironisnya, kealpaan tanggung jawab moral para konglomerat dan lunaknya pemerintah untuk menarik pajak orang kaya turut meliputi persoalan perpajakan. Semasa pandemi, pemerintah gencar memberikan insentif kepada pebisnis bahkan ketika kesenjangan pendapatan sedang menganga lebar. Bahkan para konglomerat mengalami kenaikan kekayaan semasa krisis Covid-19 hingga 57,9% bersamaan dengan 2,1 juta penduduk yang jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem.
Mengonfirmasi temuan laporan di atas, kekhawatiran akan krisis utang sebagai risiko nomor satu Indonesia begitu tampak karena pada sisi lain geliat penambahan surat utang terus dilakukan guna menutupi defisit fiskal. Sepanjang 2022, utang negara terus mencatat penambahan hingga Rp635,1 triliun.
Padahal, pada 2020 lalu, pemerintah telah menetapkan defisit belanja hingga Rp1 kuadriliun untuk mendanai stimulus akibat pandemi, yang menurut ekonom, akan membebani generasi Indonesia hingga 50 tahun mendatang. Proses pembebanan itu dibayar oleh generasi masa depan dengan skema pengurangan berbagai jenis subsidi kebutuhan pokok dan menurunnya investasi bagi peningkatan kualitas pembangunan manusia.
Utang Negara sebagai Risiko Antargenerasi
Perbincangan yang luput dari persoalan utang negara adalah bahwa ia merupakan risiko antargenerasi. Risiko antargenerasi adalah kemungkinan ancaman yang akan berdampak buruk bagi generasi masa depan. Studi yang dilakukan Masayu Otaki menunjukkan bahwa kecenderungan untuk memaksimalkan kemakmuran hanya untuk satu generasi melalui utang publik sangatlah berbahaya. Hal ini dikarenakan pelunasan utang-utang tersebut cenderung akan semakin ditunda hingga membentuk akumulasi utang secara jangka panjang.
Setidaknya ada lima bentuk risiko antargenerasi dari penumpukan utang. Pertama, berkurangnya belanja negara untuk memenuhi hak warga yang berarti, investasi bagi agenda pembangunan manusia berkurang. Kedua, meningkatnya beban pajak bagi generasi masa depan. Ketiga, semakin tertutupnya lapangan pekerjaan, upah semakin rendah, dan menurunnya kualitas hidup. Keempat, semakin terbatasnya peluang pemerintah untuk berutang (creditworthiness) yang memang benar-benar dibutuhkan di masa depan. Kelima, mempercepat peningkatan inflasi yang mengikis daya beli generasi mendatang.
Baca Juga: Keadilan Antargenerasi: Menuntut Hak Milenial dan Gen Z, Kini dan Nanti
Merujuk kembali pada pasal 33 ayat (4) UUD 1945 bahwa prinsip perekonomian nasional salah satunya dibangun di atas fondasi berkelanjutan. Penyematan kata “berkelanjutan” ini menunjukkan bahwa perekonomian mesti meminimalisasi risiko antargenerasi. Peningkatan utang secara masif ditambah lemahnya negara untuk menarik pajak konglomerat menunjukkan bahwa perekonomian bangsa ini masih terlampau jauh dari amanat konstitusi.
***