Politik Dinasti Ancaman Keadilan Generasi Milenial-Z
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang anggota kerabat penguasa yang juga berkerabat dengan salah seorang hakim MK telah menjadi puncak kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran demokrasi ini mengancam persaingan politik jangka pendek Pilpres 2024 bahkan juga mengancam kesetaraan kesempatan politik di masa depan. Politik Dinasti menjadi salah satu warisan penting rezim ini. Keputusan MK membuka peluang politik di masa depan untuk sekelompok kecil anak muda yang akan menjadi dominan di generasinya.
Mereka lebih awal mengumpulkan modal (politik, sosial dan ekonomi) yang menggelumbung menjadi sumber daya besar menciptakan ketimpangan kemampuan dengan generasinya di masa depan. Para politisin muda baru yang muncul karena pengaruh politik kerabat atau dinasti, yang menjadi bagian dari oligarki, telah merebut kesempatan masa depan di masa kini. Ini adalah masalah ketidakadilan antargenerasi. Sekelompok kecil anak muda mendapat kemudahan mengabaikan anak muda segenerasinya.
Karenanya misi penting anak muda di pilpres 2024 adalah memulihkan kualitas demokrasi, menegakkan hukum dan HAM, memberantas korupsi tanpa tebang pilih, serta menyelenggarakan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Ruang setara hanya didapatkan jika demokrasi, hukum dan HAM, untuk berpihak kepada rakyat direbut. Dengan prinsip merit anak muda terlibat dan berperan bersama menentukan arah dan berkolaborasi membangun negara. Sebaliknya, pembiaran atas diskriminasi kesempatan kepada generasi Milenial-Gen Z demi sekelompok kecil kerabat politik elit akan menjadikan peran Milenial-Gen Z meredup bahkan punah.
Kemunduran Demokrasi Jokowi
Demokrasi, sebagai sistem politik yang menghendaki kekuasaan pada rakyat, adalah fondasi penting bagi perwujudan kebijakan publik dan pembangunan yang berkeadilan. Demokrasi mendorong tata kelola negara yang partisipatif dan bersih dari korupsi, sistem hukum yang adil, serta budaya politik yang menghargai supermasi hukum serta hak-hak dasar warga. Ketika Jokowi meraih kursi kekuasaan presiden setelah menang pemilu 2014, ia tampil sebagai sosok harapan demokrasi karena menjadi pemimpin yang berasal dari luar lingkaran elite.
Sembilan tahun perjalanan kepemimpinan Jokowi justru berkontradiksi dengan harapan tersebut. Demokrasi mengalami kemunduran ditandai dengan memburuknya kualitas kebebasan sipil, korupsi yang memburuk dilihat dari penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi, dan hukum yang tersandera kekuasaan. Puncaknya, MK yang mestinya menjadi penjaga konstitusi (guardian of constitution) justru menjadi alat kekuasaan untuk melancarkan pencalonan anak presiden guna menjadi kandidat dalam pilpres 2024 mendatang. Menyalahgunakan MK untuk melanggengkan dinasti politik dengan menabrak etika dan kewenangan adalah praktik nepotisme terburuk yang pernah dilakukan oleh seorang Presiden.
Baca Juga: Korupsi dan Ketidakadilan Antargenerasi
Fondasi politik yang tidak demokratis melahirkan kebijakan yang melukai keadilan. Pengabaian partisipasi bermakna dari publik telah melahirkan kebijakan anti-demokrasi seperti UU Cipta Kerja yang melanggengkan rezim upah murah. Simbol-simbol anti-demokrasi pun bermunculan yang terlihat dari berbagai monumen proyek pembangunan negara seperti Kereta Cepat dan Ibu Kota Negara (IKN) yang sangat bertentangan dengan prinsip sustainability serta keadilan sosial. Peminggiran warga dari hak ruang sossialnya atas nama pembangunan proyek strategis nasional mewarnai tahun-tahun kepemimpinan Jokowi, seperti yang belum lama ini terjadi di Rempang.
Memulihkan Demokrasi Sebagai Misi Perubahan
Warisan politik dinasti yang mengancam kesetaraan kesempatan politik bagi Milenial-Gen Z di masa depan harus diputus. Demokrasi yang semakin memburuk harus segera dipulihkan. Misi perubahan yang memulihkan demokrasi, menciptakan sistem hukum dan lembaga peradilan yang adil, serta memutus rantai politik dinasti menjadi sangat genting untuk menyelematkan hak politik Milenial-Gen Z di masa depan.
Misi penyelamatan demokrasi secara jelas disebutkan oleh pasangan Anies-Muhaimin sebagai “misi perubahan”, dan juga disinggung oleh pasangan Ganjar-Mahfud dengan istilah “mempercepat” pelaksanaan demokrasi substantif. Perubahan adalah inovasi kepemimpinan yang ditawarkan oleh pasangan kandidat Anies-Muhaimin yang tidak hanya sekadar perubahan taktikal, melainkan juga perubahan yang bersifat strategis-paradigmatik.
Perubahan paradigma itu kemudian diturunkan menjadi delapan misi jalan perubahan, di mana salah satunya (poin ke-8) adalah memulihkan demokrasi sebagai fondasi politik untuk melahirkan kebijakan berkeadilan sosial dan keadilan antar-generasi. Turunan itu terlihat dari aspek pelaksanaan demokrasi, tata kelola, dan sistem hukum yang menawarkan perubahan langsung pada jantung permasalahan.
Pasangan Anies-Muhaimin menawarkan perubahan cara perumusan kebijakan dengan menghadirkan proses partisipasi bermakna masyarakat di dalamnya. Pasangan Ganjar-Mahfud menyebutnya dengan “Gerak Pemantapan Lembaga Politik” dengan memperlancar konsultasi-dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil. Sejatinya, pelibatan publik ini memang penting mengingat selama ini masyarakat diabaikan dalam proses perumusan regulasi dan pembangunan, seperti UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan, serta IKN dan Kereta Cepat.
Untuk menjamin kesetaraan politik, pasangan Anies-Muhaimin menekankan pada proses pencalonan kepala daerah dari jalur independent dengan proses yang mudah. Ini artinya, Milenial-Gen Z semakin memiliki kesempatan politik untuk dicalonkan sebagai pemimpin daerah, dan ini menjadi misi perubahan yang melawan arus politik dinasti di mana hanya elite anak muda saja yang diuntungkan dalam proses politik.
Baca Juga: Ketimpangan Indonesia Hari Ini dan Dampaknya untuk Milenial-Gen Z
Misi perubahan juga menegaskan upaya menggeser paradigma dari kekuasaan sentralistik menjadi penguatan partisipasi politik warga yang demokratis. Penguatan partisipasi semacam ini juga mesti tercermin dalam praktik tata kelola (governance) demokratis. Tata kelola demokratis didukung dengan negara yang lebih bersih dari korupsi. Anies-Muhaimin mencanangkan target untuk mendongkrak secara ambisius skor Indeks Persepsi Korupsi menjadi 44-46 pada 2029, yang bahkan masalah esensial ini tidak disinggung kandidat lain.
Penegasan akan agenda pemberantasan korupsi juga diungkap oleh Ganjar-Mahfud dalam “misi percepatan”-nya. Misi percepatan itu mengungkap bahwa pasangan Ganjar-Mahfud akan menghadirkan hukum adil untuk semua. Agenda tersebut antara lain membasmi korupsi, keadilan restoratif, supremasi hukum progresif, serta penyeleseaian pelanggaran HAM.
Sistem hukum yang adil dan transparan sebagai jaminan atas demokrasi. Di bawah kepemimpinan Jokowi, sistem hukum digerus kekuasaan yang membentuk praktik-praktik tidak adil dan anti-demokrasi: kriminalisasi, konflik agraria, korupsi, bahkan menyalahgunakan MK untuk menguatkan praktik dinasti. Anies-Muhaimin menawarkan reformasi hukum di empat area prioritas, yaitu peradilan dan penegakan; agraria dan SDA, korupsi, serta perundang-undangan. Hal penting lainnya adalah mendorong penyempurnaan sistem informasi terintegrasi di lingkungan peradilan untuk mencegah penyalahgunaan oleh kekuasaan atas lembaga kehakiman. Reformasi hukum ini menjadi strategis sebagai jalan perubahan yang mesti dilaksanakan.
Upaya pemberantasan korupsi juga mencerminkan perubahan paradigma dari yang selama ini ego-sentris menjadi kolaboratif dengan mencanangkan Sistem Integritas Nasional yang melibatkan pemerintah dan swasta. Hal ini didukung dengan pencegahan korupsi pada sektor-sektor strategis seperti sumber daya alam, BUMN, infrastruktur, maupun program sosial. Elemen gotong royong juga menjadi kunci dengan menjadikan masyarakat sipil sebagai mitra strategis pemerintah untuk menangani korupsi. Ini berbeda dari paradigma ego-sentris di mana sebelumnya pemerintah merasa tidak memerlukan kolaborasi dengan masyarakat sipil. Tentu, aspek penting berikutnya adalah penguatan KPK setelah entitas ini dilemahkan lewat revisi UU KPK pada 2019 lain.
Misi perubahan Anies-Muhaimin maupun misi percepatan Ganjar-Mahfud menawarkan suatu tindakan kolektif penting untuk melawan politik dinasti dengan memulihkan demokrasi pada segala lini. Jika tidak, masa depan Milenial-Gen Z dalam mewujudkan kebijakan dan pembangunan berkeadilan tidak akan pernah terwujud karena tidak ada kesetaraan politik akibat memburuknya demokrasi yang mengacak-acak sistem hukum serta menguatnya politik dinasti. Maka pilihannya, berubah sekarang juga atau akibatnya kita akan punah!.
Redaksi BersamaIndonesia
***