Kendaraan Listrik untuk Keadilan dan Keberlanjutan Bangsa

by | Jul 3, 2023

  • Mendorong ekosistem industri hijau adalah langkah progresif. Akan tetapi memulainya dengan pemberian subsidi dan peran yang lebih dominan untuk kendaraan pribadi bukanlah kebijakan inovatif dan progresif.

  • Kendaraan listrik pribadi belum bisa menjadi substitusi kebutuhan mobilisasi masyarakat secara luas. Terlebih penciptaan market demand yang dibuat dan diidamkan pemerintah atas dasar percepatan transisi energi terbarukan dan pengurangan polusi

  • Transisi energi seharusnya mempromosikan keadilan distributif yang menjadi prinsip dalam pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia.

Keadilan Lingkungan dan Transportasi

Pemerintah memberikan subsidi pembelian mobil listrik baru per 1 April 2023. Subsidi tersebut berupa insentif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang berlaku hingga Desember 2023. Masyarakat dapat membeli mobil listrik dengan hanya menanggung PPN sebesar 1%. Sedangkan 10% sisanya dibayarkan pemerintah. Subsidi mobil dan motor tersebut melalui program Bantuan Pemerintah dan Insentif Fiskal untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Kebijakan tersebut diharapkan mendorong industri bertransformasi lebih hijau, mempercepat dan mendorong lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Apalagi program ini sudah berhasil dilakukan di berbagai negara. Kecepatan untuk mendorong kebijakan tersebut juga untuk menghindari agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar. Dengan program ini, pemerintah juga berharap Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Program KBLBB juga mengurangi ketergantungan negara pada bahan bakar fosil.

Jika program ini berjalan, maka jumlah kendaraan pribadi akan bertambah dan tekanan kemacetan semakin kuat di kawasan perkotaan seperti kota Jakarta dan tetangganya.   Sesungguhnya kemacetan adalah masalah kronis yang mengemuka akibat penggunaan (ketergantungan) kepada kendaraan, khususnya mobil dan motor pribadi. Kemenhub mengungkap jumlah kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun. Sementara itu tercatat kerugian akibat polusi akibat ketergantungan kepada kendaraan, khususnya angkutan pribadi, di Jakarta mencapai 17,8 triliun.

Subsidi ini memunculkan masalah yang dapat saja memperburuk keadaan. Subsidi untuk mobil dan motor listrik pribadi tentu saja berlawanan dengan kondisi kronis kemacetan. Kehadiran mobil dan motor listrik tersebut akan menambah jumlah kendaraan, yang akan menambah kemacetan. Sedangkan peningkatan penggunaan kendaraan berbahan bakar listrik akan mendorong permintaan dari pembangkit listrik, yang ternyata bersumber dari batu bara. Artinya, pengurangan polusi di jalan raya berpindah ke pembangkit-pembangkit berbahan baku batu bara di kawasan. Sebagai catatan, salah satu kontributor dari buruknya kualitas udara Jakarta berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang menyumbang 20-30% polusi udara di Jakarta, sedangkan transportasi berkisar antara 30-40%.

Kebijakan pemerintah memberikan subsidi untuk mobil dan motor pribadi memunculkan beberapa masalah ketidakadilan: (1) ketidakadilan anggaran dengan memberikan subsidi kepada kendaraan pribadi; (2) ketidakadilan transportasi yang mendorong dominasi kendaraan pribadi di jalanan; dan (3) ketidakadilan lingkungan akibat pihak-pihak yang terdampak polusi PLTU yang dapat saja tidak memanfaatkan kendaraan listrik pribadi.

Inisiatif Pemerintahan Joko Widodo untuk menjemput era kendaraan berbasis listrik adalah suatu inovasi penting. Mendorong ekosistem industri hijau adalah langkah progresif. Akan tetapi memulainya dengan pemberian subsidi dan peran yang lebih dominan untuk kendaraan pribadi bukanlah kebijakan inovatif dan progresif. Kebijakan ini hanya melanjutkan era kendaraan  berbahan bakar fosil digantikan kendaraan berbasis listrik semata untuk pertumbuhan ekonomi dan keuntungan komersial.

 

Baca Juga: Konstitusi, Perubahan Iklim, dan Milennial-Gen Z

 

Subsidi Salah Sasaran dan Elitis

Kebijakan subsidi tersebut mendapatkan kritik dari Gubernur DKI 2017-2022 Anies Baswedan. Menurutnya, subsidi tersebut seharusnya mendukung perluasan transportasi publik berbasis listrik. Sebelumnya Anies juga pernah mengkritik kebijakan subsidi kepemilikan kendaraan listrik.

Menurutnya, tindakan itu kurang tepat untuk menghadapi krisis lingkungan. Namun, ia menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah justru tidak konsisten dengan komitmen penyelesaian lingkungan tersebut.

Dalam kasus subsidi mobil listrik, Anies mempersoalkan alokasi anggaran negara untuk menanggulangi krisis iklim yang seharusnya dilihat secara komprehensif. Pengendalian polusi udara bisa dilakukan dengan memindahkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum. Manfaat ekspansi transportasi umum dan elektrifikasi transportasi umum dirasakan oleh semua. Anies menekankan pentingnya keadilan untuk semua warga mendapat manfaat elektrifikasi dan pengurangan polusi.

Apalagi subsidi untuk mobil listrik menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Masih tingginya harga mobil listrik menyebabkan kelompok yang mampu membeli adalah anggota masyarakat dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas. Tentu saja tidak tepat memberikan subsidi harga kepada mereka. Subsidi tersebut akan memperburuk keadaan karena menguatnya eksklusivitas, ketimpangan dan kemiskinan. Subsidi ini menjadikan isu keadilan distributif mengemuka karena kebijakan mobil bersubsidi hanya dapat diakses pihak yang mampu, yang merupakan wujud dari perencanaan pembangunan (sektor energi dan transportasi) yang eksklusif dan elitis.

Sebaliknya, Pemprov DKI mendukung penggunaan energi listrik untuk transportasi publik, yaitu Bus Transjakarta berbasis listrik dan jumlah armada Transjakarta berbasis listrik diharapkan akan mencapai 50 persen di tahun 2025. Pilihan kebijakan Anies berbeda dengan Pemerintah Pusat di mana jauh dari eksklusif dan elitis, dan sebaliknya, mendorong keadilan transportasi dan ruang.

Semasa Gubernur Anies Baswedan, mobil listrik mendapatkan perhatian tinggi sebagai wujud dukungan atas kebijakan Pemerintah Pusat. Mobil listrik mendapatkan insentif yang berbeda (bukan subsidi harga), yaitu pembebasan bea balik nama, memberikan kebebasan ganjil genap, dan membangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Insentif yang wajar untuk pengguna mobil listrik dari kelompok masyarakat menengah atas.

Kehadiran kendaraan listrik harus menjadi bagian dari pembangunan yang berkeadilan dalam transportasi, mendukung ekonomi dan ekologi. Pembangunan berwawasan ekonomi dan ekologi berkelanjutan tersebut diusung Anies Baswedan selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, yang menjadi program branding kota Jakarta dalam konteks kendaraan listrik (lihat boks).

Pemimpin Berwawasan Ekonomi dan Ekologi Berkelanjutan

Ekonomi dan ekologi berkeadilan menuntut bahwa sumber daya yang dimiliki negara dimanfaatkan untuk kesejahteraan sebanyak-banyaknya warga negara tanpa mengerdilkan kelestarian alam. Seorang pemimpin berwawasan ekonomi dan ekologi berkelanjutan memahami bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh di atas ekologi, begitu pun sebaliknya. Mereka harus berjalan selaras berdampingan, dengan saling memperhatikan satu sama lain.

Figur pemimpin yang memiliki wawasan ini contohnya adalah Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies Rasyid Baswedan. Ia mencapainya melalui beberapa hal.

Pertama, Paradigma transportasi konvensional yang mengutamakan kendaraan pribadi di Jakarta diubah oleh Anies Baswedan menjadi paradigma transportasi umum terintegrasi. Hasilnya pada 2021 jangkauan wilayah transportasi umum yang andal naik 2 kali lipat sehingga jumlah penumpang Trans-Jakarta melebihi angka 1 juta penumpang per hari. Ditambah lagi dengan penambahan 70 armada bus listrik di tahun 2023 akan melengkapi 30 unit yang sudah beroperasi di masa kepemimpinan Anies. Memberikan subsidi untuk mobil listrik pribadi hanya bisa dinikmati segelintir orang, sehingga tidak menyentuh keadilan. Memprioritaskan ekspansi dan elektrifikasi transportasi massal menyentuh keadilan, karena dampaknya bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Ditambah lagi efeknya secara sosial, kebersamaan dan rasa egaliter bisa terbentuk.

Selain itu Anies Baswedan melokalisasikan spirit global dengan menghadirkan ajang berskala internasional kompetisi balap Formula-E. Tentunya acara tersebut selain menaikkan citra kota Jakarta, juga mempromosikan inisiasi pembangunan ramah lingkungan (kendaraan listrik menghasilkan emisi yang nyaris tidak ada).

Kedua, inisiatif Anies Baswedan membangun kampung berwawasan lingkungan yang melibatkan native daerah tersebut sebagai ko-kreator tempat tinggalnya. Contohnya pembangunan Kampung Akuarium Penjaringan Jakarta Utara yang akhirnya berhasil dilakukan setelah melewati proses alot selama 4 tahun.

Ketiga, sejak awal kepemimpinannya (2017), Anies berani menghentikan pembangunan reklamasi yang berdampak masif bagi lingkungan dan livelihood seluruh makhluk hidup di teluk utara Jakarta. Hal ini tidak mudah karena Gubernur kala itu harus berhadapan dengan para pemodal yang lebih mementingkan aspek ekonomi di atas ekologi.

Semua inisiatif solusi atas krisis iklim oleh Anies dan tim pemerintahannya, telah dilembagakan dalam Peraturan Gubernur Nomor 31/2022 mengenai Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta, yang juga berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 30% di tahun 2030

 

Baca Juga: Policypreneur Berkeadilan Sosial dan Pilihan Milenial-Gen Z di 2024

 

Studi Kasus EV: Kendaraan Umum Versus Kendaraan Pribadi

Kota Shenzhen di Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Tiongkok, merupakan kota pertama yang berhasil mewujudkan elektrifikasi 100% terhadap 16,359 armada bus urban untuk 12,3 juta penduduk kota pada tahun 2017. Subsidi nasional sebanyak 1 Miliar Rupiah untuk 8500 unit bus berkapasitas 39 (duduk) sampai 87 (maksimum) penumpang disalurkan langsung ke manufaktur bus listrik pada tahun 2015.

Lulu Xue, pakar dari World Research Institute menyatakan bahwa tanpa subsidi nasional, transisi menuju bus listrik di Shenzhen tidak akan mungkin direalisasikan karena tingginya biaya muka (upfront cost) per bus listrik yang mencapai 3 miliar Rupiah, 2 sampai 3 kali lebih mahal dari bus konvensional. Menurut riset dari World Bank, subsidi untuk bus listrik menekan total cost of ownership (TOC) menjadi 36% lebih rendah dari TOC bus berbahan bakar minyak, yang disertakan rincinya di tabel berikut[14].

Jika dikalkulasi dengan seksama, dalam 1 bus listrik tipe BYD K8 berkapasitas penuh, secara efektif angka subsidi per penumpang didapati mencapai 12 juta Rupiah.

Di sisi lain, anggaran pemberian insentif pemerintah ditentukan sebesar 1,75 triliun Rupiah untuk 200 ribu motor listrik baru dan 50 ribu mobil listrik konversi di tahun 2023. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) menyebut angka subsidi sekitar 7 juta Rupiah untuk tiap unit motor listrik dan 80 juta Rupiah untuk tiap unit mobil listrik. Jika kita bandingkan rasio 1 bus listrik kota Shenzhen dengan jumlah kendaraan listrik yang disubsidi pemerintah menggunakan dana 1 Miliar Rupiah, didapati 12 mobil listrik per 1 bus listrik atau 142 motor listrik per 1 bus listrik. Jika sebuah bus listrik di Shenzhen dapat memuat 87 orang dalam satu kali perjalanan, sedangkan mobil listrik SUV hanya bisa menampung 4 orang, dapat dihipotesiskan secara obyektif bahwa subsidi negara akan lebih tepat mencapai sasaran dan memenuhi rasa keadilan jika lebih diprioritaskan untuk menggenjot pembangunan transportasi umum berbasis listrik.

Ditambah lagi pembelian motor listrik dalam negeri yang disubsidi pemerintah sampai laporan ini diturunkan baru mencapai 702 unit dari total kuota 200.000 unit. Ini adalah gambaran bahwa kendaraan listrik pribadi belum bisa menjadi substitusi kebutuhan mobilisasi masyarakat secara luas. Terlebih penciptaan market demand yang dibuat dan diidamkan pemerintah atas dasar percepatan transisi energi terbarukan dan pengurangan polusi, berdasarkan pernyataan Menteri Perindustrian, “bukan orang kaya bukan orang menengah yang akan mendapatkan bantuan pemerintah untuk belanja motor listrik”, jelas keliru dan kontradiktif dengan kenyataan di lapangan.

 

Pemosisian Mobil Listrik dalam Roadmap EBT

Kendaraan berbasis tenaga listrik atau yang populer disebut dengan Electric Vehicle (EV) adalah kendaraan yang sepenuhnya digerakkan oleh motor menggunakan energi dari listrik di baterai. Ambisi pemerintah Indonesia terhadap upaya elektrifikasi transportasi demi percepatan transisi energi fosil ke terbarukan tidak bertumpu pada pembangunan ekosistem mobil listrik berkelanjutan, melainkan tertuju kepada kesuksesan penjualan kendaraan pribadi berbasis listrik yang menjadi suatu pertanyaan besar, apakah menstimulasi penggunaan kendaraan listrik sudah tepat jika 80% sumber tenaganya masih dari pembangkit energi fosil yang merusak lingkungan.

Keinginan pemerintah melakukan endorsement terhadap kendaraan listrik pribadi sudah lama didasari atas narasi dan desakan global atas zero net emission, dan pertemuan para pemimpin ASEAN untuk mengolaborasikan pembangunan ekosistem mobil listrik. Realisasinya tertuang dalam kebijakan-kebijakan seperti PERPRES No. 55 Tahun 2019 dan INPRES No. 7 Tahun 2022.

Berdasarkan wawancara eksklusif penulis dengan pakar energi terbarukan, Maryam Muthia Karimah, M.Sc, ada beberapa faktor yang mendasari pemerintah memberikan stimulus fiskal (subsidi pembelian serta pengurangan rasio pajak kendaraan) untuk mendorong penjualan unit mobil listrik.

Pertama, saat ini PLN mengalami surplus supply listrik sehingga jika tidak ada hilirisasi yang menyerap oversupply tersebut, maka PLN akan mengalami kerugian besar. Kedua, adanya kepentingan para pemilik tambang nikel untuk menyalurkan hasil tambang mereka ke ekosistem industri baterai litium yang akan menjadi komponen utama produksi mobil listrik dalam negeri. Walau begitu endorsement pemerintah atas kepemilikan mobil listrik dinilai pakar sudah tepat karena hal ini akan mendorong perkembangan teknologi dan hilirisasi industri terbarukan dalam negeri yang akan berdampak positif bagi ekonomi, terlepas dari riset feasibility yang belum tuntas, ekosistem EBT yang belum end-to-end (pembangkit listrik didominasi fosil), pembuatan dan daur ulang baterai litium yang berpotensi menghasilkan limbah berbahaya, serta minimnya infrastruktur pengisian ulang listrik. Menurut pakar, Indonesia bisa turut serta menggapai zero net emission bersama negara lainnya pada 2060 jika transisi penggunaan mobil listrik dan pembangunan ekosistemnya dilakukan secara beriringan dengan transformasi transportasi publik, sedini mungkin.

 

Transisi Energi yang Berkeadilan

Transisi energi seharusnya mempromosikan keadilan distributif yang menjadi prinsip dalam pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia. Ini mengacu kepada amanat peran negara di pembukaan UUD 1945 untuk menciptakan kesejahteraan umum berdasarkan nilai keadilan sosial. Peran dan nilai tersebut merupakan kesepakatan (kontrak) antara negara dan warganya. Oleh karena itu, pilihan kebijakan yang eksklusif dan elitis tidak dapat diterima.

Akan tetapi pemerintah juga harus menjawab tantangan terbaru seperti krisis iklim, pertambahan jumlah penduduk, kelangkaan energi dan kemajuan teknologi. Tantangan tersebut harus direspons dengan amanat peran negara dan nilai bersama. Kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi kepada mobil listrik adalah salah. Apalagi hanya melihat dari pertumbuhan ekonomi dan pasar (utilitarian) mengabaikan pendekatan keadilan (egalitarian).

Dalam konteks subsidi mobil listrik, transisi energi baru terbarukan dengan semua kebijakan dan program turunannya harus mencerminkan keadilan lingkungan, keadilan transportasi dan keadilan sosial.

***

Redaksi BersamaIndonesia