-
Jalur sepeda di Jakarta sebagai transportasi warga memastikan kebijakan kota berpihak kepada warganya.
-
Keberadaan jalur sepeda yang aman dan nyaman sebagai infrastruktur dasar adalah kebijakan yang berpihak pada kelompok masyarakat yang paling lemah secara sosial-ekonomi.
-
Berbagai kota-kota dunia kini telah menempatkan cycling policy sebagai bagian dari prinsip keadilan sosial.
Visi Pemimpin Kota
Visi pembangunan pemimpin kota yang berkelanjutan dan berkeadilan terwujud dalam kebijakan transportasi kota. Transportasi sebagai urat nadi kota berperan vital memberikan akses, kemampuan, dan berfungsinya warga sesuai dengan pilihan mereka di beragam sektor. Keberpihakan kebijakan transportasi kota yang berkelanjutan dan berkeadilan memastikan seorang pemimpin berpihak kepada warga. Jalur sepeda di Jakarta sebagai transportasi warga memastikan kebijakan kota berpihak kepada warganya. Kebijakan tersebut teruji ketika krisis COVID-19 menyerang.
Bersepeda mendapatkan momentum semasa pandemi COVID-19 di pembatasan sosial berskala besar atau PSBB berakhir dan memasuki era kenormalan baru. Kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat dan aktivitas fisik dengan bersepeda diyakini meningkatkan imunitas tubuh untuk menghindari infeksi virus corona.
Kebijakan pemerintah yang mengutamakan keberlanjutan dan kesetaraan untuk pembangunan mendapatkan ujian yang nantinya dapat menjadi praktik baik penyelenggaraan pembangunan daerah ketika menghadapi serangan COVID-19 dan menjadi praktik baik penyelenggaraan daerah ke masa depan. Salah satu pilihan kebijakan tersebut adalah pembangunan jalur sepeda sebagai fasilitas transportasi.
DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan telah membangun 309,5 jalur sepeda di akhir 2022 dengan target 535,68 km pada 2026. Kebijakan jalur sepeda yang telah teruji melewati masa krisis COVID-19 ternyata juga berlaku di kota-kota di belahan dunia lain yang mengembangkan infrastruktur jalan kaki dan bersepeda sebagai respons terhadap COVID-19.
Kota Montréal mengembangkan “Jalur Aktif dan Aman”, jaringan koridor transportasi yang dapat diakses pejalan kaki dan pengendara sepeda dan sebagai implementasi kehati-hatian berkegiatan setelah gelombang pertama pandemi COVID-19, dengan menambah jalur sepeda tambahan sepanjang 112 km dan rute pejalan kaki.
Baca Juga: Transportasi Publik, Wajah Keadilan Ruang di Era Society 5.0
Di Kolombia, pengembangan 84 km rute sepeda sementara di awal tahun 2020 dilakukan untuk menambah jaringan kota Ciclovía. Peningkatan fasilitas ini membantu meningkatkan minat bersepeda warga, dengan survei di musim panas menunjukkan bahwa jumlah orang yang menganggap bersepeda sebagai alat transportasi meningkat dua kali lipat menjadi 16 persen.
Di Eropa juga, kota-kota mengakomodasi lebih besar penggunaan transportasi tidak bermotor. Di Milan, Italia, pusat kota mengalokasikan sekitar 35 km ruang jalan bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki, dengan pengurangan batas kecepatan bagi kendaraan bermotor untuk menjamin keamanannya. Di Brussel, Belgia, di mana rencana pejalan kaki yang ambisius sudah ada berlangsung sebelum pandemi melanda, seluruh inti kota diubah menjadi zona prioritas bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki. Di Paris, Prancis, jalur sepeda juga diperluas dan akan dibuka jalur sepeda jarak jauh lebih cepat dari jadwal.
Visi Gubernur Anies Baswedan mengimplementasikan jalur sepeda di Jakarta adalah praktik baik moda transportasi yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang memiliki semangat berkelanjutan, berkeadilan dan berorientasi ke masa depan. Peningkatan bersepeda membuat kota dan pemukiman manusia lebih inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan karena bersepeda terjangkau, aman, tidak berpolusi, sehat, dan mempromosikan ekonomi berkelanjutan.
Sepeda juga tidak bergantung pada teknologi tinggi yang rumit dan karenanya merupakan moda transportasi yang sangat tangguh. Di sisi lain, teknologi komunikasi dan sepeda elektronik mengintegrasikan bersepeda ke dalam Sistem Transportasi Kota Cerdas. Semakin tinggi porsi moda berjalan kaki, bersepeda, dan angkutan umum, semakin berkelanjutan sistem transportasi tersebut.
Kota Berkeadilan
Pembangunan kota yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika prinsip keadilan menjadi bagian melekat dalam struktur sosial masyarakat, dengan mendorong distribusi ruang kota yang berkeadilan. Setiap warga memiliki hak yang sama menggunakan ruang kota sebagaimana warga kota lainnya. Pembatasan (pembedaan) penggunaan ruang kota hanya dibenarkan untuk memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat marjinal, seperti orang dengan difabilitas dan kelompok miskin.
Sejalan dengan prinsip keadilan tersebut, pembatasan terhadap siapapun warga negara Indonesia memasuki kota Jakarta adalah pelanggaran hak warga negara. Termasuk pembatasan sepeda motor memanfaatkan ruas jalan yang dapat dimanfaatkan kendaraan bermotor lain, seperti mobil pribadi. Gubernur Anies Baswedan membuka kota Jakarta untuk semua warga negara Indonesia dan membolehkan sepeda motor melewati jalan-jalan protokol di Jakarta setelah pernah dilarang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Baca Juga: Ketimpangan Indonesia Hari Ini dan Dampaknya untuk Milenial-Gen Z
Pembangunan jalur sepeda semasa Gubernur Anies Baswedan merupakan wujud nyata dan pesan simbolik bahwa pemerintah kota memiliki visi pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Visi ini telah diusung sang Gubernur sejak awal menjabat ketika Pemprov DKI menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Tindakan pembongkaran jalur sepeda di masa Pj Gubernur Heru, yang ternyata diperbaiki lagi, dapat ditafsirkan sebagai langkah yang tidak berpihak kepada keberlanjutan dan keadilan ruang kota. Ruang yang menjadi hak semua warga kota.
Pemerintah saat ini tampak berpegang pada paradigma untung-rugi (cost-benefit) yang terkesan dominan terkait kebijakan pembangunan infrastruktur jalur sepeda. Apalagi banyak kalangan menganggap pembangunan jalur sepeda di Jakarta tidak efektif karena jumlah penggunanya sangat sedikit, sementara dana yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi mencapai Rp119 miliar. Akhirnya, kebijakan yang telah digalakkan sejak 2019 kini dibongkar kembali karena dianggap sebagai biang kemacetan (sumber inefisiensi mobilitas).
Pembongkaran jalur sepeda yang sebelumnya telah dibangun adalah ironi. Ironi ini terjadi ketika banyak kota-kota di berbagai dunia justru berupaya mewujudkan bike-friendly cities karena lebih ramah lingkungan dan berdampak positif bagi kesehatan. Di mana basis argumen dari pilihan kebijakan yang berpihak pada pesepeda (dan juga pejalan kaki) adalah pemenuhan prinsip keadilan sosial. Ini adalah bagian penting dari apa yang disebut sebagai keadilan transportasi (just transportation).
Keadilan Sosial dalam Kebijakan Bersepeda
Sepeda selama ini belum dianggap sebagai moda transportasi arus utama (mainstream). Alasan paling sering dilontarkan adalah cuaca panas di Indonesia yang membuat banyak orang enggan menggunakan sepeda. Dalam konteks ini, bersepeda akhirnya hanya sebatas aktivitas rekreatif yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah-atas.
Ada kekeliruan besar ketika menganggap cuaca panas menjadi faktor enggannya banyak orang untuk bersepeda. Banyak studi di berbagai negara, termasuk di Indonesia sendiri, menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadikan sepeda sebagai moda transportasi dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur bersepeda yang memadai.
Demand untuk menjadikan sepeda sebagai moda transportasi justru datang dari kalangan menengah-bawah yang lebih sulit mengakses kendaraan pribadi seperti mobil. Artinya, keberadaan jalur sepeda yang aman dan nyaman sebagai infrastruktur dasar adalah kebijakan yang berpihak pada kelompok masyarakat yang paling lemah secara sosial-ekonomi.
Baca Juga: Patriotisme Nakes, RUU Kesehatan, dan Paradigma Welas Asih
Ini menunjukkan bahwa kebijakan jalur sepeda telah memenuhi prinsip kesamaan (equality) dan kesetaraan (equity) yang menjadi basis keadilan sosial. Equality artinya membuka akses bagi semua kalangan untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi dengan keberadaan jalur yang aman dan nyaman.
Kelompok menengah-atas dapat memanfaatkannya sebagai basis transportasi sehari-hari. Sementara jalur sepeda juga memberikan akses bagi kelompok rentan seperti mereka yang tinggal di area padat penduduk, para pedagang kaki lima, bahkan anak-anak sekalipun. Karena bagaimanapun, sepeda adalah moda transportasi murah (aksesibel) yang relatif mudah dimiliki oleh semua kalangan. Sangat berbeda dengan mobil dan motor yang memakan biaya besar dan cenderung membebani kelompok menengah-bawah.
Pada saat bersamaan, keberadaan jalur sepeda juga memenuhi prinsip equity karena memberikan keadilan yang lebih besar bagi kelompok-kelompok yang tidak beruntung seperti kaum difabel. Aktivitas cycling bagi kaum difabel menjadi jauh lebih mudah dengan adanya jalur sepeda karena menjamin keamanan mobilitas.
Tentu saja kebijakan jalur sepeda ini tidak sekadar dipandang sebagaimana adanya (as it is). Setidaknya ada dua aspek penting yang membuat kebijakan bersepeda (cycling policy) memenuhi prinsip keadilan sosial. Pertama, desain jalur sepeda harus memastikan keamanan, kenyamanan, koherensi, keberlangsungan rute, dan daya tarik. Kedua, terintegrasi dengan fasilitas transportasi publik.
Di Jakarta, kebijakan jalur sepeda yang direncanakan akan dibangun masif sejak 2019 (sebelum akhirnya dibongkar) sangat erat kaitannya dengan proses integrasi transportasi publik, dalam hal ini adalah JakLingko. Sepeda dapat berperan sebagai first and last mile yang memungkinkan jarak terjangkau antara aktivitas bersepeda hingga simpul-simpul transportasi publik. Itulah mengapa penting ada jalur sepeda yang terproteksi (permanen) untuk memastikan bahwa mobilitas dengan sepeda dapat berlangsung dengan aman dan nyaman.
Keuntungan Sosial Cycling Policy
Pemenuhan keadilan sosial dari cycling policy ini memberikan keuntungan sosial (social benefit) yang begitu besar. Sebab, kebijakan yang berpihak pada penggunaan sepeda dan jalan kaki sebagai moda transportasi memberikan manfaat setidaknya pada dua bentuk keadilan: lingkungan dan kesehatan.
Kita harus mengetahui bahwa, pertama-tama, kerugian sosial dari car-oriented development di kawasan urban justru menyasar pada kelompok masyarakat paling rentan. Emisi karbon yang diproduksi dari masifnya mobil dan motor menimbulkan kerusakan lingkungan, di mana kelompok rentan yang akan pertama kali merasakannya. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa lingkungan yang paling tercemar polusi udara justru ditinggali oleh kalangan kelas menengah-bawah. Pada gilirannya, hal ini akan berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan.
Pilihan kebijakan yang berpihak pada penggunaan sepeda sebagai moda transportasi justru adalah cermin keberlanjutan (sustainability) karena memenuhi keadilan lingkungan dan kesehatan. Penggunaan sepeda dan berjalan kaki yang bersifat nol-karbon memberikan implikasi positif bagi lingkungan, yang artinya, mengurangi kesenjangan kesehatan di antara berbagai kelompok masyarakat. Kebijakan ini akhirnya tidak hanya adil bagi orang-orang pada generasi yang sama, melainkan juga generasi masa depan karena adanya jaminan atas lingkungan yang lebih lestari.
Keuntungan sosial-ekonomi dari cycling policy juga dapat dinikmati secara adil oleh semua kalangan. Seperti yang telah disebutkan di muka, pemenuhan prinsip equality dan equity memungkinkan terpenuhinya hak mobilitas dan transportasi bagi semua kalangan tanpa terkecuali. Efek positif dari pemenuhan rasa adil adalah semakin eratnya kohesi sosial karena gap antarberbagai kelas dapat lebih teratasi. Di sisi lain, kelompok pekerja dengan upah rendah dapat lebih menghemat biaya transportasi secara signifikan.
Cycling Policy sebagai Kebijakan Masa Depan
Jalur sepeda yang menjadi bagian integral dari cycling policy adalah manifestasi dari prinsip “efisiensi berkeadilan” sebagaimana disebut dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945 karena menjamin kelestarian bagi kehidupan di masa depan. Pada gilirannya, kebijakan ini dapat berimplikasi pada ekspansi kapabilitas manusia. Mengutip Amartya Sen, ia adalah bagian penting dari penciptaan kondisi yang baik bagi pembangunan manusia (creating conditions for human development).
Berbagai kota-kota dunia kini telah menempatkan cycling policy sebagai bagian dari prinsip keadilan sosial. Dari kota-kota tersebut, dorongan bagi masyarakat untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi justru dikondisikan melalui kebijakan yang berpihak mobilitas cycling dan walking. Dua kota berbeda tapi memiliki lintasan cycling policy yang penting untuk dilihat: Amsterdam (Belanda) dan Sao Paulo (Brasil).
Amsterdam memang menjadi surga bagi pesepeda. Patut dicatat, masifnya penggunaan sepeda di Amsterdam tidaklah datang dari ruang hampa, seperti kesadaran tiba-tiba yang muncul begitu saja. Ada lintasan kebijakan yang membuat aktivitas bersepeda menjadi sangat aman dan nyaman di sana.
Pada mulanya, Amsterdam didesain sebagai daerah yang ramah bagi mobil (car-oriented) karena imajinasi kota modern di era setelah Perang Dunia II. Perencanaan itu mendapatkan penentangan yang masif oleh warga, dan membuat perencana kota serta pemangku kebijakan mengubah haluan tata ruang yang justru memberikan kenyamanan dan keamanan besar bagi pengguna sepeda dan pejalan kaki. Ini berimplikasi pada disinsentif bagi pengguna mobil yang dibuat tidak nyaman di sana.
Di Sao Paulo, pembangunan infrastruktur jalur sepeda adalah buah dari aksi demonstrasi besar dari warganya yang menuntut keadilan transportasi. Efeknya, pemerintah setempat membangun jalur sepeda dan membuat perencanaan sistem transportasi yang ramah bagi para pesepeda dan pejalan kaki. Secara perlahan, penggunaan sepeda sebagai moda transportasi semakin meningkat seiring dengan kebijakan yang berpihak pada mereka.
Pengalaman Amsterdam maupun Sao Paulo menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadikan sepeda sebagai moda transportasi hanya dimungkinkan dengan kebijakan transportasi yang memenuhi prinsip keadilan sosial. Ini adalah pilihan kebijakan berorientasi pada masa depan (keberlanjutan) di mana paradigma car-oriented harus ditinggalkan.