Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta
Penghentian reklamasi Teluk Jakarta adalah perlawanan terhadap kesewenangan dan ketidakadilan yang hanya menguntungkan sekelompok orang. Gubernur DKI Anies Baswedan 2017-2022 menghentikan pembangunan 13 pulau sedangkan pulau lainnya yang sudah selesai dikerjakan, akan dikelola untuk kepentingan publik. Tidak hanya pengerjaan saja yang dihentikan, tetapi juga secara keseluruhan dan izin prinsip dan pelaksanaan dicabut.
Penghentian reklamasi tersebut adalah perubahan yang bertujuan menegakkan keadilan: Keadilan lingkungan, ruang, ekonomi dan sosial. Di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan ancaman reklamasi Teluk Jakarta terhadap lingkungan, masyarakat nelayan dan ruang dihentikan. Sejatinya proyek tersebut harus dihentikan karena hanya menguntungkan sekelompok kecil orang, yaitu para pengembang.
Logika yang beroperasi di belakang reklamasi Teluk Jakarta semata-mata adalah keuntungan ekonomi. Mengabaikan isu keberlanjutan dan keadilan. Logika yang sama terulang dalam pengembangan Eco-City Rempang. Demi keuntungan ekonomi untuk sekelompok pengusaha, pemerintah mengabaikan keadilan warga. Rempang bukanlah kasus pertama. Telah terjadi kasus-kasus ketidakadilan berdalih investasi dengan merampas hak-hak warga. Belajar dari penghentian reklamasi Teluk Jakarta, pemimpin adalah pilar utama yang mampu menjaga hak warga, keberlanjutan dan keadilan.
Rezim Pembangunan Jokowi Menimbulkan Konflik di Pulau Rempang
Kepemimpinan yang berprinsip pada keadilan sosial sangat esensial dalam suatu rezim politik. Kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip tersebut dapat membentuk kebijakan publik yang lebih bertanggung jawab, inklusif, serta mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas. Kepemimpinan politik yang berkeadilan sosial dapat ditakar pada proses pembangunan yang dilancarkan pada lanskap rezim politik tertentu: apakah proses serta orientasinya mengedepankan inklusivitas, atau justru meminggirkan hak kehidupan dan lahan masyarakat lokal.
Di bawah rezim Jokowi, telah berlangsung percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang beriringan dengan eskalasi konflik agraria setidaknya dalam lima tahun terakhir. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan telah terjadi lebih dari 2000 kasus konflik agraria yang berdampak pada lebih dari 1,5 juta warga sepanjang 2016 hingga 2022. Sebut saja kasus-kasus yang telah terjadi di antaranya adalah pembangunan PSN PLTU Batang, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, PSN di Desa Wadas, PSN kilang minyak di Air Bangis, hingga kasus yang sedang bergejolak saat ini adalah PSN Rempang Eco-City.
Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Ancaman terhadap Generasi Masa Depan
Sebagai sebuah proyek yang dibungkus dalam label “berkelanjutan” dan “ramah lingkungan” (penggunaan kata “Eco” di dalamnya), Rempang Eco-City seharusnya menjadi simbol harmoni antara pembangunan dan kelestarian. Namun, realitas yang terjadi justru bertolak belakang. Ribuan hektar tanah agraria disulap menjadi kawasan yang dianggap menarik investasi, tanpa mempertimbangkan masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada lahan tersebut.
Apa yang terjadi adalah sebuah bentuk gentrifikasi modern di mana kekayaan alam dan lahan digenggam oleh pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan dan modal, sementara yang kehilangan hak dan akses justru adalah mereka yang seharusnya diuntungkan oleh proyek ini.
Ketidakseimbangan ini menciptakan konflik agraria yang bergejolak. Masyarakat setempat yang selama ini hidup secara harmonis dengan lingkungannya, sekarang mendapati diri mereka terjepit dalam situasi kehancuran ruang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dan yang lebih parah, mereka justru dikucilkan dari proses pengambilan keputusan. Ini bukan hanya sebuah kegagalan dalam implementasi proyek, tetapi juga kegagalan dalam model pembangunan rezim Jokowi.
Rentetan konflik agraria di balik pembangunan PSN atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi justru menunjukkan bahwa rezim Jokowi bergerak menjauhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) yang menjadi agenda global. Padahal, SGDs jelas menyebut bahwa pembangunan mestilah inklusif, yang secara spesifik memberikan ruang partisipasi bagi kelompok-kelompok rentan dalam proses pembangunan (no one left behind).
Kepemimpinan Anies Baswedan dan Pembangunan Berkeadilan Sosial
Kepemimpinan yang mengedepankan pembangunan inklusif sangat ditentukan oleh pemimpin masa depan, terutama yang akan dipilih langsung pada pemilu 2024 mendatang. Di antara kandidat pemimpin potensial yang dapat mengubah paradigma pembangunan menjadi pembangunan inklusif adalah Anies Baswedan. Anies mengkritik bahwa seharusnya pembangunan justru mengutamakan kepentingan publik, dan oleh karenanya publik harus dilibatkan dalam prosesnya pengambilan keputusannya.
Ungkapan Anies tersebut menjadi satu model kepemimpinan yang telah ia lakukan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan sangat kontras dengan model yang diterapkan rezim Jokowi. Contohnya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies berani menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Keputusan politik ini tidak hanya menjadi indikator kepemimpinan yang berbasis pada keadilan, tetapi juga menjadi pertanda bagaimana kepemimpinan seperti ini bisa diungkit pada agenda pembangunan nasional, seperti apa yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Proyek reklamasi Teluk Jakarta telah menjadi subyek perdebatan dan konflik. Dipresentasikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, reklamasi ini diharapkan bisa mendongkrak kegiatan ekonomi di Ibu Kota. Namun, terlepas dari janji-janji kemakmuran yang digaungkan, realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda. Proyek ini, yang dari awal dipenuhi kontroversi terutama saat digencarkan kembali oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan mengeksploitasi ekosistem sosial, terutama bagi nelayan pesisir utara Jakarta.
Inilah konteks yang menjadikan kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan begitu penting. Dengan keputusannya untuk menolak proyek reklamasi ini, Anies telah mempertegas pentingnya keadilan dan keberlanjutan dalam pembangunan kota (sustainable city). Karena tidak ada sustainable city tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Ini adalah agenda mendesak untuk mencapai SDGs, sebuah agenda global yang menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai inti dari setiap kebijakan publik.
Proyek reklamasi jika diteruskan dapat mengubah lanskap pesisir Jakarta, sebuah habitat yang selama ini telah menopang kehidupan banyak nelayan. Menggusur mereka dari sumber mata pencahariannya hanyalah akan merusak ekosistem sosial yang telah ada. Belum lagi dampak langsungnya pada lingkungan, mulai dari erosi pantai hingga perubahan arus dan sedimentasi yang berdampak pada ekosistem laut. Semua ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan oleh SDGs.
Baca Juga: Keadilan Antargenerasi: Menuntut Hak Milenial dan Gen Z, Kini dan Nanti
Di sinilah Anies Baswedan berperan, tidak hanya sebagai pemimpin yang mendengar, tetapi juga bertindak. Keputusan politisnya untuk menghentikan proyek ini menunjukkan sebuah bentuk kepemimpinan yang langka: keberanian untuk menentang status quo demi kebaikan bersama (common goods). Anies memahami bahwa roda ekonomi bisa berputar dengan banyak cara; ia tidak perlu merusak lingkungan dan mengabaikan kehidupan ribuan nelayan. Ini adalah langkah signifikan menuju realisasi SDGs, khususnya dalam konteks pembangunan kota yang berkelanjutan.
Tindakan Anies menolak reklamasi Teluk Jakarta menggambarkan sebuah model kepemimpinan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi atau kepentingan segelintir orang. Ia menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah yang melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk komunitas lokal yang terdampak langsung oleh setiap proyek pembangunan. Ini juga dibuktikan dengan bagaimana ia menerapkan model kepemimpinan kolaboratif dalam penataan kampung-kampung asli Jakarta dengan melibatkannya dalam proses pembangunan.
Model kepemimpinan Anies bisa menjadi solusi alternatif untuk menyelesaikan konflik seperti di Pulau Rempang, di Wadas, maupun proyek pembangunan di berbagai daerah lainnya. Bayangkan jika prinsip keadilan dan partisipasi masyarakat diadopsi dalam menyelesaikan konflik di Rempang. Kita akan melihat sebuah peta jalan pembangunan PSN yang lebih adil dan inklusif, di mana setiap pihak mendapatkan hak dan tanggung jawabnya secara proporsional.
Baca Juga: Kendaraan Listrik untuk Keadilan dan Keberlanjutan Bangsa
Mengedepankan keadilan sosial dalam PSN bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, jika Anies Baswedan berhasil melakukan ini saat nantinya terpilih sebagai pemimpin nasional, ia akan membuka jalan untuk model pembangunan baru, sebuah model yang tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tetapi juga distribusi kekayaan yang lebih merata dan kesejahteraan sosial.
Ini akan menjadi perubahan paradigma dalam politik pembangunan Indonesia, di mana negara tidak hanya menjadi fasilitator bagi kepentingan bisnis tetapi juga sebagai pelindung dan pemberdaya masyarakat. Potensi ini ada dalam kepemimpinan Anies Baswedan karena ia telah membuktikannya di Jakarta dengan menghentikan proyek reklamasi.
Potensi kepemimpinan Anies untuk mengedepankan Proyek PSN yang tetap berprinsip pada keadilan sosial dapat mengubah cara kita memandang arti pembangunan itu sendiri. Tidak lagi sebagai sebuah mesin ekonomi yang harus berjalan terus-menerus, melainkan sebagai proses kolaboratif di mana setiap individu, kelompok, dan komunitas memiliki peran, hak, dan tanggung jawab. Inilah model kepemimpinan yang dibutuhkan, sebuah kepemimpinan yang berprinsip di atas keadilan sosial, meski harus menentang arus.
Redaksi BersamaIndonesia
***