Menyoal Ketahanan Pangan dan Ketersediaan Air Layak di Indonesia

by | Feb 27, 2023

  • Krisis iklim mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan air bersih yang merupakan kebutuhan utama setiap manusia.

  • Indonesia cukup tertinggal dalam penanganan ketahanan pangan dan ketersediaan air bersih akibat krisis iklim.

  • Tanpa upaya serius dari pemangku kebijakan, alih-alih ketahanan pangan dan ketersediaan air terjamin, yang terjadi justru kerentanan di masa depan.

Oleh: Fathur R. Arroisi

Pangan dan Air Bersih adalah kebutuhan mendasar setiap orang untuk bisa mempertahankan hidup. Oleh karena itu kecukupan pangan dan air bersih merupakan hak asasi individu yang wajib dipenuhi. Anak dan remaja adalah kelompok usia yang krusial untuk mendapatkan pangan bergizi dan air bersih secara layak. Namun kebutuhan dasar tersebut masih menjadi persoalan di banyak negara di dunia berdasarkan penelitian yang dirilis oleh UNICEF pada Agustus 2021.

Laporan Penelitian bertajuk “Indeks Risiko Iklim Anak” (Children Climate Risk Index), mengungkap pada skala global terdapat sekitar 1 Miliar anak-anak (setengah dari total populasi anak dunia) hidup di negara-negara yang berisiko dampak krisis iklim ekstrem, di mana perubahan iklim tersebut memberikan sumbangsih besar terhadap krisis pangan dan air. Penelitian tersebut melibatkan 57 variabel bersamaan yang bermuara pada 2 klaster utama; “Paparan iklim, guncangan dan tekanan lingkungan” dan “Kerentanan Anak”. Dalam klaster/pilar yang pertama terdapat isu “Kelangkaan Air”, lalu di Klaster kedua terdapat isu “Air, Sanitasi, Kebersihan” dan isu “Nutrisi dan Kesehatan Anak” yang berkaitan erat dengan kemampuan memenuhi pangan bergizi. Indonesia sendiri menempati rangking 46 dari 163 rangking negara dengan skor indeks 8.1/10 untuk faktor iklim-lingkungan, 4.2/10 untuk kerentanan anak, 6.5/10 skor final indeks risiko iklim anak.

Baca Juga: Konstitusi, Perubahan Iklim, dan Milenial-Gen Z

Berdasarkan indeks tersebut maka dapat ditarik benang merah bahwa Indonesia cukup tertinggal dalam penanganan masalah pangan dan air bersih hingga sekarang, apalagi dengan jumlah masyarakat yang begitu banyaknya menempati kondisi geografis yang beragam tentunya akan menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks.

Ketahanan Pangan

Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) tahun 2022 yang dirilis The Economist Impact dan Corteva (perusahaan sains yang bergerak di bidang pangan) menempatkan Indonesia pada posisi 63 dari 113 negara secara global. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia berada di posisi 10 dari 23 negara. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Hasil penilaian indikator dinyatakan dalam skor berskala 0-100, di mana angka tertinggi menunjukkan performa terbaik. GFSI menilai harga pangan di Indonesia cukup terjangkau dibanding negara-negara lain. Hal ini terlihat dari skor affordability Indonesia yang mencapai 81,4, cukup jauh di atas rata-rata Asia Pasifik yang skornya 73,4. “Indonesia unggul dalam memastikan pangan yang terjangkau di sisi konsumen melalui program jaring-pengaman pangan yang kuat,” mengutip laporan GFSI. Program “jaring pengaman pangan” yang diinisiasi pemerintah pusat ini contohnya adalah Program Raskin, yang telah berjalan selama beberapa dekade.

Di sisi lain, ketersediaan pasokan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Kualitas nutrisi bertengger di skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi memiliki skor terendah dari ketiga skor lainnya, yaitu 46,3. Di tiga indikator ini ketahanan Indonesia dinilai lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik. “Ada kesenjangan mendasar dalam kemampuan negara untuk menciptakan ekosistem berwawasan ke depan dan aman pangan. Secara khusus, hal ini membutuhkan fokus untuk mengembangkan penelitian produktif untuk pembangunan pertanian dan meningkatkan komitmen politik untuk lebih mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan risiko yang diproyeksikan terkait dengan perubahan iklim,” pungkas rekomendasi tim penulis GFSI.

Untuk skor keseluruhan, Indonesia mendapatkan 60,2 di tahun 2022, meningkat dibandingkan skor tahun pandemi 2020-2021; 59,5 – 59,2. Namun kita tidak bisa terlalu bergembira, karena ketahanan pangan Indonesia tersebut masih di bawah rata-rata global 2022 yang indeksnya naik ke 62,2, serta lebih rendah dibanding rata-rata indeks Asia Pasifik 2022 yang sudah naik ke 63,4. Artinya pertumbuhan ketahanan pangan tahunan Indonesia masih terbelakang vis a vis pertumbuhan tahunan global dan regional.

Baca Juga: Bencana, Kapasitas Negara, dan Jaminan Keselamatan Milenial-Gen Z

Kondisi riil di lapangan yang mencerminkan rentannya ekosistem pangan Indonesia di masa depan; dampak inflasi dan bengkaknya ongkos produksi yang ditanggung petani nyatanya tidak diimbangi dengan kenaikan harga beli pemerintah atas gabah/beras yang dihasilkan para petani. Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mencatat bahwa selama tiga tahun terakhir kenaikan ongkos produksi sebesar Rp. 4.523 per kg gabah kering panen (GKP) pada 2019 menukik hingga Rp. 5.667 per kg GKP pada 2022, berdasarkan perhitungan kenaikan harga-harga komponen input usaha tani. Namun pemerintah melalui Surat Edaran BPN Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras yang akan berlaku mulai 27 Februari 2023 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah/Beras (batas bawah) menetapkan harga rendah, seperti terangkum dalam infografis Kompas berikut;

Selain harga beli yang lebih rendah dari ongkos produksi, insentif usaha yang didapatkan petani juga semakin menipis karena harga barang kebutuhan sehari-hari yang terus naik. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, indeks konsumsi rumah tangga petani, sebagai salah satu komponen nilai yang dibayar, naik dari 105,13 pada Januari 2020 menjadi 115,85 pada Januari 2023. Laju kenaikan indeks konsumsi rumah tangga petani selama tiga tahun tersebut sebesar 10,19 persen. Kebijakan harga pembelian gabah dan beras yang digadang sebagai instrumen untuk melindungi nasib petani pada akhirnya menjadi bumerang yang justru menggerus daya beli pelaku usaha tani, yang sebagian besar adalah buruh tani. Menurut Esther Sri Astuti, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), usaha tani yang kian tidak menguntungkan akan ditinggalkan oleh generasi muda dan banyak petani yang tidak menginginkan anaknya melanjutkan profesi sebagai petani karena tekanan tersebut.

Jika regenerasi petani tidak berjalan lancar maka produksi pangan nasional berpotensi turun, kemudian menjadi risiko serius karena dalam jangka panjang akan mengancam ketahanan pangan dan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada pangan impor. Di sisi lain Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan dilema yang dihadapi pemerintah; ”Apabila harga gabah berada lebih rendah dibandingkan batas bawah, Bulog perlu membelinya dengan harga Rp 4.200 per kg. Harga batas atas dan bawah ini sudah merupakan keseimbangan yang wajar dari hulu ke hilir. Kalau harga gabah mencapai Rp 7.000 per kg, apakah konsumen siap membeli beras seharga Rp 15.000 per kilogram.”

Para pengamat pangan kompak berpendapat bahwa masalah harga beli gabah petani, efisiensi, hingga kontrol rantai distribusi dari petani hingga konsumen merupakan tanggung jawab utama pemangku kebijakan untuk menciptakan keadilan sosial.

Ketersediaan Air

Air adalah salah satu isu besar yang dibahas dalam Indeks Risiko Iklim Anak (CCRI). Persoalan kelangkaan air bersih (water scarcity) serta sanitasi dan kebersihan (water, sanitation, hygiene) merupakan faktor yang berpengaruh pada kemampuan adaptasi dan resiliensi seorang anak terhadap perubahan iklim.

Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Hari Suprayogi, dalam acara 3rd World Irrigation Forum yang diselenggarakan di Bali beberapa tahun silam mengatakan “Ketahanan pangan harus didukung oleh ketahanan air.” Pemerintah Indonesia lanjutnya ingin mewujudkan visi itu di tahun 2030, yaitu Indonesia memiliki pasokan air 120 meter kubik per kapita per tahun. “Saat ini Indonesia masih 58 meter kubik per kapita per tahun. Maka untuk memenuhi target itu pembangunan tampungan harus selalu dilakukan,” kata Hari.

Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Ancaman terhadap Generasi Masa Depan

Untuk kebutuhan penampungan, data 2019 menunjukkan pemerintah baru membangun 61 bendungan—45 bendungan baru masih dalam tahap pembangunan dan 16 bendungan telah selesai—dari 65 yang ditargetkan. “Itu semua tergantung readiness criteria dari desain dan lahan,” kata Hari. Ia mengestimasi dengan tempo pembangunan yang sekarang, 65 bendungan yang ditargetkan pemerintah baru akan rampung pada tahun 2023.

Di sisi lain kualitas air di Indonesia dapat dilihat melalui indeks kualitas air (IKA) yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. IKA nasional dihitung berdasarkan pengukuran kualitas air di satu titik dan periode pemantauan. Indeks ini dikalkulasi untuk data melalui total penjumlahan dari perkalian masing-masing sub indeks parameter kualitas di antaranya TSS, pH, DO, BOD, COD, Total Fosfat, NO3, dan Fecal Coli;. Perhitungannya mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

Melihat tren selama tujuh tahun terakhir kualitas air di Indonesia cenderung berfluktuasi. Skor terbaru pada 2022 berjumlah 53,88 mengalami kenaikan 2,01% dibandingkan tahun sebelumnya di angka 52,82. Walaupun skor 2022 merupakan yang paling tinggi diraih, nyatanya skor tersebut belum memenuhi target 2022 yaitu 55,03 poin. Jika dibagi berdasarkan wilayah, ada 14 provinsi dan 225 kabupaten/kota yang berhasil mencapai target skor IKA pada 2022. Dengan sebanyak 192 kabupaten/kota dari 4.884 titik pantau mengalami peningkatan. Sementara itu, sebanyak 157 kabupaten/kota dari 3.881 titik pantau tercatat mengalami penurunan. Peningkatan yang terjadi di 192 kabupaten/kota tersebut disebabkan oleh ketersediaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan seperti pengawasan terhadap industri dan pembinaan usaha skala kecil[2].

***