-
Indonesia adalah salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia
-
Krisis iklim berikut risiko bencana yang tidak diminamilisir melalui kebijakan publik, akan menjadi beban bagi Milenial dan Gen Z di masa depan
-
Kualitas negara dalam merespons bencana merupakan tolok ukur kapasitas negara. Maka guna merespons bencana dengan baik, negara harus meningkatkan kapasitasnya. Begitupun sebaliknya.
World Risk Report melalui indeks risiko bencana menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara ketiga dunia yang paling berisiko terhadap bencana alam (natural disasters) setelah Filipina dan India.
Indeks tersebut disusun berdasarkan dua indikator: [1] keterpaparan populasi yang terkena bencana (exposure) serta [2] kerentanan (vulnerability) yang di dalamnya mencakup kerawanan (susceptability), lemahnya kapasitas koping (lack of coping capacity) dan lemahnya kapasitas adaptasi (lack of adaptive capacity).
Tabel. Lima Besar Negara dengan Indeks Risiko Bencana Tertinggi
Peringkat | Negara | Indeks Risiko Bencana | Keterpaparan bencana | Kerentanan |
1 | Filipina | 46,82 | Sangat tinggi | Sangat tinggi |
2 | India | 42,31 | Sangat tinggi | Sangat tinggi |
3 | Indonesia | 41,46 | Sangat tinggi | Sangat tinggi |
4 | Kolombia | 38,37 | Sangat tinggi | Sangat tinggi |
5 | Meksiko | 37,55 | Sangat tinggi | Tinggi |
***Data diperoleh dari World Risk Report 2022 |
Posisi Indonesia baik dalam indikator keterpaparan bencana dan kerentanan terhitung sangat tinggi. Di satu sisi, Indonesia secara alamiah memiliki potensi bencana yang sangat tinggi jika dibandingkan negara-negara lain. Sementara di sisi lain, kapasitas negara dalam merespons bencana terhitung lemah karena masyarakat masih sangat rentan jika terkena dampaknya.
Risiko bencana dan krisis iklim yang tidak diminimalisir melalui kebijakan negara hari ini akan menjadi beban bagi milenial-gen Z di masa depan. Terlebih,R kesadaran gen Z terhadap potensi bencana alam cukup tinggi. Mayoritas dari gen Z memahami bahwa risiko yang harus dihadapi dari krisis iklim adalah meningkatnya potensi bencana alam.
Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Ancaman terhadap Generasi Masa Depan
Krisis iklim tak hanya berpengaruh pada meningkatnya potensi bencana hidrometeorologis seperti banjir tapi juga berdampak langsung pada peningkatan potensi gempa bumi.
Sejatinya, negara mengedepankan kapasitas yang bercirikan keberlanjutan dalam menyelenggarakan pemerintahan agar mampu mengantisipasi ancaman bencana. Kapasitas yang memberikan arah bahwa negara mampu melakukan mitigasi ancaman-ancaman dan menjaga terjadinya keberlanjutan. Keberlanjutan adalah konsep yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Seperti dalam bidang ekonomi, pasal 33 ayat (4) UUD 1945 mensyaratkan agar perekonomian dibangun berdasarkan prinsip “berkelanjutan” (sustainability). Artinya, kebijakan negara mesti memperhatikan implikasi jangka panjang (long-term) termasuk dalam konteks risiko bencana alam dan krisis iklim.
Kapasitas Negara
Kapasitas adalah kombinasi dari semua kekuatan, atribusi, dan sumber daya dalam sebuah organisasi, komunitas, atau masyarakat untuk mengelola dan mereduksi risiko bencana serta menguatkan resiliensi. Kapasitas itu termasuk infrastruktur, institusi, pengetahuan, serta atribusi kolektif seperti relasi sosial, kepemimpinan dan manajemen.
Kapasitas negara dalam merespons risiko bencana menentukan seberapa besar tingkat kerentanan terhadap bencana. Sementara kapasitas itu sendiri dipengaruhi oleh efektvitas negara dalam mengelola pemerintahan. Banyak studi menunjukkan bahwa kualitas tata kelola negara adalah kunci yang mampu mereduksi kerentanan masyarakat terhadap bencana.
Hal ini dibuktikan secara empiris bahwa terdapat asosiasi sangat kuat antara indeks efektivitas pemerintahan (data Bank Dunia) dengan tingkat kerentanan sebagai salah satu indikator dalam indeks risiko bencana. Asosiasi tersebut memperlihatkan bahwa negara-negara dengan tingkat efektivitas pemerintahan yang rendah cenderung lebih rentan terhadap risiko bencana alam.
Baca Juga: Keadilan Antargenerasi: Menuntut Hak Milenial dan Gen Z, Kini dan Nanti
Skor efektivitas pemerintahan di Indonesia berdasarkan data Bank Dunia sebetulnya berada di level moderat (0,38). Namun, kerentanan terhadap bencana terbilang sangat tinggi. UNDRR melalui Disaster Risk Reduction in Indonesia menyebut setidaknya empat masalah mendasar dalam kebijakan kebencanaan.
Pertama, lemahnya ketersediaan dan keterpaduan data terutama pada level lokal. Implikasinya adalah tidak ada kapabilitas guna menerapkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) untuk mengurangi risiko bencana. Kedua, rendahnya orientasi dan regulasi terhadap upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) serta kealpaan rencana strategis di level lokal diperburuk dengan minimnya pendanaan.
Ketiga, cara pandang institusi publik dalam kebijakan bencana cenderung “penyelesaian jangka pendek” (rapid-fix one) alih-alih secara jangka panjang (long-term cultural changes). Kondisi ini diperkuat dengan persepsi bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah satu-satunya lembaga yang paling bertanggung jawab atas bencana sementara sensitivitas institusi publik lainnya sangat lemah. Keempat, ketimpangan wilayah menyebabkan sumber daya pendanaan dan modal manusia membuat banyak pemerintah lokal kesulitan mereduksi risiko bencana yang bersifat multi-hazard.
Belajar dari Jepang
Negara dengan potensi gempa yang tinggi namun memiliki kerentanan lebih rendah adalah Jepang. Berdasarkan World Risk Report 2022, tingkat keterpaparan Jepang terhadap bencana (exposure) sangatlah tinggi dengan skor 43,67 atau empat poin di atas Indonesia. Namun, kerentanannya (vulnerability) terhitung sangat rendah (skor 6,64).
Pada 2011, Jepang pernah diguncang gempa dahsyat bermagnitudo 9,0 diikuti tsunami. Setelah bencana yang menewaskan lebih dari 18 ribu jiwa itu, Pemerintah Jepang secara serius melakukan upaya pengurangan risiko bencana di berbagai sektor.

Tembok raksasa untuk meminimalisir risiko akibat Tsunami di Jepang (foto: Asahi)
Upaya yang paling mencolok adalah Jepang membangun tembok laut besar-besaran di sepanjang pesisirnya untuk meminimalisir risiko akibat Tsunami yang kerap terjadi di negeri matahari terbit itu. Selain itu, salah satu penyebab banyaknya korban jiwa jatuh pada gempa dan tsunami 2011 di Jepang adalah akibat tak terdengarnya peringatan dini tsunami setelah gempa terjadi. Maka hingga kini, di samping mengontrol pembangunan infrastruktur ramah gempa, Jepang terus mengembangkan teknologi untuk peringatan dini tsunami menggunakan drone canggih yang bisa menjangkau seluruh wilayah di berbagai kota. Tak hanya itu, setiap ponsel masyarakat Jepang juga telah dipasang aplikasi peringatan dini Tsunami.
Baca Juga: Risiko Krisis Utang Hantui Masa Depan Milenial-Gen Z
Jepang adalah contoh bagaimana resiliensi dibangun seiring sejalan antara pemerintah dan masyarakatnya. Pemerintah Jepang menyiapkan konstitusi diikuti ragam infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana. Dengan pembangunan infrastruktur anti-gempa yang masif seperti bangunan, transportasi umum, saluran air, Jepang menjalankan dengan bertanggung jawab amanat konstitusinya. Dengan keteladanan yang dimulai dari atas, masyarakat Jepang terus mengedukasi seluruh lapisannya untuk siap menghadapi bencana.
***
Redaksi BersamaIndonesia