Konstitusi, Perubahan Iklim, dan Milenial-Gen Z

by | Feb 20, 2023

  • Bisnis ekstraktif seperti pertambangan mineral dan batubara jadi penghambat kebijkan penanganan perubahan iklim

  • Alokasi anggaran besar untuk penanganan perubahan iklim belum menunjukkan hasil yang signifikan

  • Kapasitas negara dalam merespons perubahan iklim akan menentukan nasib Milenial dan Gen-Z di masa depan

Akar masalah dari tidak berjalannya agenda penanganan krisis iklim di Indonesia adalah masih kuatnya cengkeraman bisnis ekstraktif. UU Minerba yang disahkan pada 2020 dan Perppu Cipta Kerja akhir 2022 lalu menjadi jalan mulus untuk bisnis ekstraktif melancarkan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Kedua aturan tersebut menyederhanakan perizinan, kepastian berinvestasi dan kemudahan usaha di bidang tambang minerba. Cengkeraman bisnis ekstraktif menjadi penyebab sulitnya Indonesia bertransformasi menuju energi terbarukan. Terlebih bisnis ekstraktif adalah bidang usaha “padat rente” di mana banyak konglomerat cukup terkonsentrasi di sana.

Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Ancaman terhadap Generasi Masa Depan

Melencengnya arah kebijakan tersebut dari amanat UUD 1945 menunjukkan bahwa pemimpin bangsa ini harus tegas mengembalikan pengelolaan perekonomian negara kepada konstitusi. Kebijakan yang mengabaikan alam bertentangan dengan pasal 33 ayat (4) di mana perekonomian mestilah berwawasan lingkungan.

Prinsip sustainability (kelestarian) yang disebut dalam pasal tersebut juga tercederai karena tidak ada komitmen untuk keadilan lingkungan antargenerasi. Juga tidak ada kekeluargaan dalam perekonomian seperti dikatakan pasal 33 ayat (1) karena konsentrasi kekayaan dari bisnis perusak lingkungan hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan generasi hari ini serta masa depan.

Peran Negara dalam Krisis Iklim

Krisis iklim merujuk pada perubahan iklim yang kini menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan manusia di seluruh dunia. Perubahan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kenaikan suhu bumi dan pola cuaca yang semakin ekstrem.

Organisasi meteorologi dunia (WMO) menyatakan bahwa 2022 merupakan tahun terpanas keenam yang tercatat akibat peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca. Di Indonesia, terjadi peningkatan curah hujan bahkan ketika musim kemarau sejak awal 2022 akibat anomali iklim.

Negara harus memiliki misi ambisius melalui kebijakan yang efektif untuk menangani masalah krisis iklim. Hal ini dibuktikan melalui analisis statistik bahwa terdapat asosiasi yang sangat kuat antara Government Effectiveness Index (GEI) dengan Children’s Climate Risk Index (CCRI).

GEI merupakan salah satu indikator dari Worldwide Governance Indicator yang dirilis Bank Dunia untuk mengukur kualitas serta kredibilitas pemerintah dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan. Sementara CCRI merupakan indeks yang dirilis UNICEF untuk mengukur tingkat risiko krisis iklim terhadap nasib generasi muda pada masing-masing negara.

Baca Juga: Keadilan Antargenerasi: Menuntut Hak Milenial dan Gen Z, Kini dan Nanti

Apa yang juga penting, baik GEI maupun CCRI juga memiliki korelasi sangat kuat dengan Human Development Index (HDI). Artinya, kualitas pembangunan manusia dapat menentukan resiliensi generasi muda dalam menghadapi ancaman krisis iklim. Sebaliknya, krisis iklim juga dapat memberikan efek buruk yang menghambat agenda pembangunan manusia. Semua itu akan bergantung pada sejauh mana peran negara di dalamnya.

Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah memiliki alokasi anggaran untuk mitigasi krisis iklim. Berdasarkan Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020 yang dirilis Kementerian Keuangan, secara akumulatif pemerintah telah mengucurkan dana hingga Rp307,94 triliun untuk masalah krisis iklim.

Jumlah itu pada 2020 tersebar ke 13 Kementerian/Lembaga. Dana yang harus dikucurkan untuk mengatasi masalah krisis iklim memang sangat besar. Secara global, dana yang dikucurkan pada 2019/2020 sebesar USD632 miliar atau naik hampir 100% dibandingkan 10 tahun sebelumnya.

Kendati tampak komitmen anggaran dari pemerintah Indonesia untuk menangani krisis iklim, nyatanya, alokasi tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Indonesia masih menyumbang 1,67 emisi karbon dunia pada 2021. Angka ini terhitung tinggi karena Indonesia justru masuk ke dalam 10 besar negara penyumbang emisi karbon yang menjadi pangkal krisis ikim.

Terdistribusinya anggaran mitigasi krisis iklim ke berbagai instansi menjadi penyebab inefisiensi karena dana yang diimplementasikan terbatas dan saling tumpang tindih. Hal ini merujuk pada masih rendahnya efektivitas pemerintah sebagaimana skor GEI sebesar 0,38 (interval -2,5 [lemah] hingga 2,5 [kuat]). Skor ini bahkan masih cukup jauh dibanding Malaysia yang berada di angka 0,99.

Krisis Iklim dan Milenial-Gen Z

Masalah terbesar dari krisis iklim adalah beban kerugian yang harus ditanggung terutama bagi milenial-gen Z. Setidaknya ada empat dampak signifikan dari krisis iklim yang harus mereka tanggung.

Pertama, peningkatan risiko penyakit yang berkaitan dengan cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas. Kedua, gangguan terhadap akses pendidikan karena kualitas kesehatan milenial-gen Z menurun drastis.

Ketiga, hilangnya lapangan pekerjaan bagi milenial-gen Z karena krisis iklim memperlambat perekonomian. Keempat, semakin beratnya beban kepemimpinan generasi masa depan akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang ditinggalkan hari ini.

Baca Juga: Bencana, Kapasitas Negara, dan Jaminan Keselamatan Milenial-Gen Z

Data CCRI yang dirilis UNICEF pada 2021 lalu menempatkan bahwa generasi muda di Indonesia “berisiko tinggi” mengalami dampak krisis iklim dengan skor 6,5 (interval 0 – 10).

CCRI sendiri dibangun di atas dua pilar: Anak-anak yang mengalami dampak langsung kerusakan lingkungan hari ini (climate and environmental shocks) dan kerentanan hidup mereka terhadapnya (child vulnerability).

Kendati kerentanan generasi muda di Indonesia terbilang moderat (skor 4,2), namun guncangan dari kerusakan lingkungan sangatlah tinggi (extremely high) dengan skor 8,1.

Pada akhirnya, kapasitas negara untuk menghasilkan kebijakan berkualitas yang berorientasi pada keadilan lingkungan dan mitigasi risiko antargenerasi menentukan kualitas pembangunan manusia dan meminimalisasi beban krisis iklim bagi milenial-gen Z.

***

Redaksi BersamaIndonesia