Ketimpangan Indonesia Hari Ini dan Dampaknya untuk Milenial-Gen Z

by | May 4, 2023

  • Meski terjadi pertumbuhan ekonomi di Indonesia namun ternyata terdapat ketimpangan serius di baliknya.

  • Ketimpangan ekonomi tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor struktural seperti ketimpangan akses terhadap pendidikan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang.

  • Guna mengatasi ketimpangan dan mewujudkan keadilan, negara tak bisa hanya fokus mendorong pertumbuhan ekonomi semata tapi juga pembangunan manusia agar generasi selanjutnya mendapatkan peluang dalam mobilitas ekonomi.

Rezim pembangunan Indonesia yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi adalah suatu paradoks. Pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan PDB per kapita pada 2021 lalu telah mencapai Rp62,2 juta atau meningkat sekitar 40% dibandingkan dua dekade lalu ternyata menyimpan jejak ketimpangan serius.

 

Di 2015, Bank Dunia menyoroti kecenderungan peningkatan ketimpangan ekonomi Indonesia melalui laporannya yang bertajuk Indonesia’s Rising Divide. Indikatornya adalah tren rasio gini konsumsi (pengeluaran) yang cenderung meningkat sejak era krisis keuangan Asia (1997-2000) hingga laporan tersebut diterbitkan dari skor 30 (tahun 2000) hingga 41 (tahun 2014). Kendati rasio gini telah mengalami penurunan hingga 37,9 pada 2021, masalahnya angka ini masih terbilang lebih tinggi dibandingkan era awal reformasi.

 

Potret utama dari ketimpangan itu adalah fenomena kelas konsumen (consumen class) yang jumlahnya berkisar 20% sekaligus sebagai penikmat utama pertumbuhan ekonomi. Mereka adalah orang-orang dengan pendapatan bersih per tahun di atas USD3.600 atau Rp52,6 juta. Kelas konsumen semacam ini sangat diandalkan bagi pertumbuhan ekonomi selain karena kontribusi pengeluarannya untuk konsumsi (sebagai komponen penting penghitung PDB) serta pendapatan pajak bagi negara. Saat ini diperkirakan ada 70 juta kelas konsumen di Indonesia dan diproyeksikan mencapai 135 juta orang pada 2030 mendatang.

 

Akar struktural dari persoalan ketimpangan konsumsi dan pendapatan adalah bahwa ketimpangan itu sendiri terjadi akibat faktor-faktor di luar kendali individu. Laporan Bank Dunia menyebut empat faktor pendorong ketimpangan.

 

Baca Juga: Diskusi dan Launching BersamaIndonesia Chapter Depok: Bisakah Negara Mewujudkan Keadilan Sosial?

 

Pertama sekaligus kedua, yaitu ketimpangan peluang dan upah di mana anak-anak miskin seringkali tidak memiliki kesempatan awal yang adil dalam hidup, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk meraih kesuksesan di masa depan. Pada ratusan juta penduduk yang tidak termasuk kelas konsumen cenderung memiliki kualifikasi pendidikan lebih rendah yang pada gilirannya mereka semakin sulit mengakses pekerjaan layak (terjebak pada pekerjaan berupah rendah). Dibandingkan kelompok kelas konsumen yang memiliki kualifikasi pendidikan baik dan memiliki kapasitas profesional terampil.

 

Ketiga, tingginya konsentrasi kekayaan di mana hanya segelintir orang meraup keuntungan lewat kepemilikan aset keuangan yang kadang diperoleh melalui korupsi. Saat ini, rasio konsentrasi kekayaan antara kelompok 10% teratas dengan 50% terbawah sebesar satu berbanding 19. Keempat, guncangan yang semakin sering terjadi sangat berpengaruh terutama kepada kelompok rumah tangga miskin dan rentan seperti kejadian pandemi Covid-19. Ironisnya, kekayaan kelompok terkaya di masa krisis justru mengalami peningkatan ketika jutaan penduduk lainnya jatuh ke jurang kemiskinan.

 

Ketimpangan Ekonomi dan Nasib Milenial-Gen Z

 

Empat faktor pendorong ketimpangan sebagaimana dilaporkan Bank Dunia tidak hanya menentukan nasib generasi masa kini, melainkan juga generasi masa depan. Bahkan pembiaran akan ketimpangan itu akan semakin memburuk bagi generasi selanjutnya, yang dalam hal ini adalah nasib Milenial-Gen Z itu sendiri.

 

Relevansi antara ketimpangan dengan nasib generasi mendatang berkaitan dengan konsep reproduksi sosial (social reproduction). Ketimpangan antargenerasi terjadi ketika individu yang berada pada kelas sosial bawah memiliki akses terbatas untuk mengenyam sumber daya berharga seperti pendidikan maupun kesehatan layak, sehingga mereka tidak mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat. Hal itu berulang ketika kelompok miskin melahirkan generasi baru dengan kondisi yang sama seperti orang tua mereka.

 

Jika ditelusuri lebih dalam terutama pada aspek ketimpangan peluang dan upah, akan ditemukan bahwa perbedaan kualitas sumber daya manusia sebagai aset terpenting adalah inti persoalannya. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ketimpangan sangat erat kaitannya dengan agenda pembangunan manusia.

 

Baca Juga: Korupsi dan Ketidakadilan Antargenerasi

 

Bank Dunia jelas menyebut faktor-faktor penting dari prakondisi ketimpangan adalah rendahnya kualitas pembangunan manusia. Kelompok tidak beruntung cenderung mengalami gizi buruk, tengkes (stunting), serta rendahnya akses pelayanan kesehatan berkualitas. Begitupun mereka juga cenderung tidak mampu mengenyam kualitas pendidikan secara layak. Ini adalah realitas struktur sosial yang berada di luar kendali individu itu sendiri. Artinya, seberapa besarpun mereka berusaha keras, peluang untuk meningkatkan kualitas hidup seperti kelompok sosial beruntung lainnya akan kecil.

 

Kondisi ketimpangan diperburuk dengan adanya konsentrasi kekayaan nasional oleh segelintir orang. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin terkonsentrasi kekayaan (timpang), semakin rendah pula kemampuan mobilitas sosial antargenerasi. Kondisi ini berkaitan dengan rendahnya kapasitas mobilitas antargenerasi (intergenerational mobility) di mana rumah tangga yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup tidak akan mampu memobilisasi generasi keluarga berikutnya untuk mencapai taraf hidup lebih baik.

 

Kondisi ketimpangan yang buruk memiliki implikasi negatif bagi pembangunan manusia, dan tentu saja berdampak bagi nasib generasi Milenial-Gen Z di masa depan. UNDP mencatat bahwa rata-rata peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia sepanjang 2010-2022 sebesar 0,77%. Angka ini, walaupun terus meningkat, terbilang cenderung lambat.

 

Keadilan antargenerasi memerlukan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Pembangunan manusia yang berkelanjutan dapat memastikan bahwa generasi saat ini dan masa depan memiliki akses yang sama ke pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, generasi mendatang akan memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan.

 

Baca Juga: Pendidikan untuk Milenial-Gen Z sebagai Instrumen Ekonomi Belaka?

 

Selain itu, pembangunan manusia yang berkelanjutan juga dapat membantu mengurangi ketimpangan antargenerasi. Dengan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dan akses ke sumber daya lainnya, maka generasi saat ini dan masa depan dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi yang dapat memperburuk keadilan antargenerasi.

Redaksi BersamaIndonesia

***