-
Pendidikan merupakan bagian penting dalam bernegara yang memiliki dampak antargenerasi. Sayangnya pendidikan diarahkan mencetak human capital untuk kepentingan ekonomi.
-
Melalui pendekatan kapabilitas Amartya Sen, pendidikan harus mampu mengembangkan ragam potensi manusia untuk berkontribusi positif bagi masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kehidupan bersama.
-
Pendidikan harus jadi alat untuk mencapai keadilan sosial. Keadilan di mana setiap individu memiliki kualitas agensi yang setara untuk berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakatnya.
Pendidikan memiliki dampak antargenerasi karena proses pembelajaran yang dialami sejak masa kanak-kanak menentukan nasib kesejahteraan individu tersebut di masa depan. Artinya, pendidikan adalah isu yang sangat melekat pada nasib Milenial-Gen z, dan pada gilirannya mendeterminasi kemakmuran bangsa di masa depan.
Pendidikan menjadi instrumen penting untuk mencapai salah satu tujuan bernegara sebagaimana amanat konstitusi, yaitu ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.
Meminjam ungkapan masyhur Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Ia menekankan lebih dalam bahwa pendidikan mestilah menjadikan bangsa ini maju, bermartabat, sejahtera, dan merdeka lahir-batin.
Lalu, bagaimana kebijakan pendidikan semestinya diarahkan?
Pendekatan Kapabilitas dalam Pendidikan
Dalam perspektif modal manusia (human capital), pendidikan dianggap sebagai alat untuk mencetak tenaga kerja unggul guna menggenjot produktivitas negara. Sudut pandang yang memfokuskan pendidikan sebagai instrumen ekonomi sejauh ini masih menjadi paradigma dominan kebijakan pendidikan Indonesia.
Kita dapat melihat dengan terang melalui pidato presiden Joko Widodo saat baru terpilih kembali untuk periode kedua kepemimpinannya: bahwa prioritas utama pembangunan manusia adalah membentuk SDM terampil dan menguasai iptek agar kompetitif secara global. Fokusnya jelas untuk kepentingan ekonomi.
Persoalan dari kebijakan pendidikan yang semata mengarah pada investasi modal manusia justru mereduksi esensi pendidikan untuk menjadikan manusia sebagai makhluk bermartabat serta berfungsi secara sosial. Dengan demikian, perspektif kapabilitas yang ditawarkan Amartya Sen dapat menjadi alternatif paradigma sebagai pemandu arah kebijakan pendidikan di Indonesia.
Amartya Sen mengungkap bahwa kapabilitas adalah kemampuan individu untuk melakukan suatu aksi atau mencapai tujuan yang dianggap bernilai dalam kehidupan. Intinya, kapabilitas adalah kebebasan yang memungkinkan bagi individu memilih berbagai peranan, aktivitas, termasuk pekerjaan sesuai dengan core value kemanusiaan.
Itulah mengapa kapabilitas tidak hanya sekadar kemampuan fisik atau finansial semata, tetapi juga mencakup aspek-aspek non-material seperti kesehatan, pendidikan, kebebasan, dan hak-hak dasar lainnya.
Kapabilitas tidak hanya diukur dari apa yang sudah dicapai oleh seseorang, tetapi juga dari apa yang masih dapat dicapai atau diperoleh oleh individu tersebut. Oleh karena itu, kapabilitas harus dilihat sebagai suatu potensi yang dapat dikembangkan dan bukan sebagai sesuatu yang sudah pasti atau statis.
Kapabilitas menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan yang lebih penting dibandingkan dengan kemakmuran ekonomi semata. Meskipun ekonomi tumbuh, apabila individu tidak memiliki kapabilitas yang memadai, keberhasilan tersebut tidak akan bertahan lama.
Kebijakan pendidikan harus dirancang untuk memperkuat kapabilitas individu dan memberikan kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan mencapai potensi terbaik dari peserta didiknya. Seperti kata Devin K. Joshi: pendidikan adalah elemen konstitutif dari pembangunan manusia (human development). Human capital yang sarat dimensi ekonomi hanyalah salah satu bagian dari human development.
Martha Nussbaum, kolega Amartya Sen dalam mengembangkan pendekatan kapabilitas, menyebut bahwa pendidikan mempromosikan pengetahuan dan kemampuan manusia. Kemampuan itu menurut Nussbaum mencakup tubuh yang sehat, penalaran praktis untuk beradaptasi dengan lingkungan, keterampilan berpikir kritis dan evaluatif, kreativitas dan imajinatif, kebudayaan, serta kemampuan berinteraksi sosial.
Itulah mengapa perspektif kapabilitas menempatkan fungsi yang lebih fundamental atas pendidikan. Di mana ia tidak hanya mencakup ihwal ekonomi dan persaingan pasar tenaga kerja, melainkan juga keberfungsian dirinya sebagai manusia yang mampu berkontribusi positif bagi masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kehidupan bersama.
Pendidikan dan Milenial-Gen Z
Konsep utama yang menghubungkan antara pendidikan dengan kepentingan Milenial-Gen Z sebagai generasi masa depan adalah fertile capability.
Pendidikan sebagai fertile capability merujuk pada konsep bahwa pendidikan bukan hanya memperkuat kapabilitas individu, tetapi juga menciptakan lingkungan yang subur (fertil) untuk pengembangan kapabilitas di masa depan.
Dalam konteks ini, pendidikan dipandang sebagai proses yang berkelanjutan dan tidak hanya terbatas pada hasil yang dapat diukur secara langsung, seperti nilai akademik atau keterampilan teknis.
Lebih dari itu, pendidikan mencakup pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang dapat mengembangkan kapabilitas individu di masa depan, serta menciptakan lingkungan yang menghargai nilai-nilai yang memperkuat kapabilitas manusia.
Pendidikan sebagai fertile capability juga melihat pendidikan sebagai proses yang memperkuat kapabilitas individu untuk menciptakan dan memperbaiki masyarakat, ekonomi, dan lingkungan yang memfasilitasi pengembangan kapabilitas manusia.
Sebagai contoh, pendidikan yang mengajarkan keterampilan dan nilai-nilai keberlanjutan dapat membantu mengembangkan kapabilitas individu untuk menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Pendidikan sebagai fertile capability menjadi sangat relevan karena peranannya dalam memperkuat agensi Milenial-Gen Z. Agensi diartikan bahwa setiap orang adalah manusia yang bermartabat dan bertanggung jawab yang membentuk kehidupannya sendiri berdasarkan tujuan yang penting, bukan hasil sebuah instruksi atau pendiktean.
Penguatan agensi lewat pendidikan membuat Milenial-Gen Z kelak memiliki kemampuan untuk memimpin sekaligus memperbaiki bangsanya di masa yang akan datang.
Pendidikan dan Keadilan Sosial
Sementara itu, kekuatan utama dari pendekatan kapabilitas berdasarkan fertile capability juga dapat melintasi hambatan struktural yang menjadi akar persoalan ketidakadilan. Hal ini merujuk pada kritik Bourdieu bahwa pendidikan adalah alat reproduksi sosial yang menciptakan ketimpangan baru.
Pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan baru hanya jika proses pendidikan menekankan pada kompetisi yang seringkali menyingkirkan kelompok-kelompok yang tidak memiliki keistimewaan (priviledge) latar belakang apapun. Mereka akan cenderung gagal untuk berproses dalam pendidikan, yang pada gilirannya menciptakan eksklusi sosial baru.
Akan tetapi, pendekatan kapabilitas yang menekankan pada keunikan dan potensi individu justru memberikan ruang setara (equity) bagi setiap individu untuk bertumbuh tanpa memandang latar belakang status maupun kelas sosialnya. Ini menjadi salah satu kunci keberhasilan sistem pendidikan Finlandia yang menekankan pada kerjasama alih-alih saling berkompetisi.
Penekanan pada kerjasama artinya mengakui keunikan dan potensi khasi masing-masing peserta didik. Pada gilirannya, pendidikan benar-benar menumbuhkan agensi mereka yang kelak berguna bagi masyarakat.
Oleh karenanya, dengan pendekatan kapabilitas ini, pendidikan justru menjadi alat untuk mencapai keadilan sosial. Keadilan di mana setiap individu memiliki kualitas agensi yang setara untuk berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakatnya.
Redaksi BersamaIndonesia
***