Depok, Bersamaindonesia.id – Kehadiran Negara sebagai institusi politik yang mengoordinasi banyak orang berpotensi memunculkan ketidakadilan. Apalagi sebagai institusi yang bisa memonopoli banyak urusan, negara modern muncul inheren dengan kapitalisme dan masyarakat industri.
Hal itu diungkapkan oleh Founder Kontekstual, Shofwan Al-Banna Choiruzzad dalam Diskusi dan Launching Gerakan BersamaIndonesia Chapter Depok, Jumat (31/3/2023). Mereka yang tidak percaya pada negara, kata Shofwan, percaya bahwa negara punya sifat ecocide yakni merusak alam.
Kendati demikian, Shofwan menyebut pembentukan Indonesia sebagai negara justru sebaliknya yaitu dimaksudkan untuk menghadirkan keadilan sosial di berbagai aspek.
“Secara konstitusional, Indonesia justru berdiri untuk menghadirkan keadilan sosial.
Jika wajah Indonesia hari ini sebaliknya, kita harus memperjuangkan keadilan, karena ia tidak hanya terwujud dengan cita-cita tapi juga perbuatan,” ungkap Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia itu.
Keadilan yang bersifat berkelanjutan bisa disebut keadilan antargenerasi. Salah satunya yakni keadilan ekologis yang tak hanya menegakkan keadilan untuk manusia tapi juga untuk alam.
“Keadilan sosial dan keadilan iklim bukan hal terpisah, keduanya berkelindan, ketidakadilan sosial hari ini erat kaitannya dengan cara kita berinteraksi dengan manusia dan alam,” ungkap Shofwan.
Senada dengan Shofwan, Founder @Cerita.Iklim Dhita Mutiara Nabella menegaskan bahwa bicara keadilan tak bisa lepas dari persoalan iklim dan lingkungan hidup. Terlebih, kata Dhita, mereka yang mendapatkan keuntungan yang kemudian berdampak pada perubahan iklim hanya segelintir pihak.
“Sementara yang mendapatkan kerugiannya adalah kita semua tanpa terkecuali, tidak kenal kaya miskin semua akan terkena dampaknya, maka kita harus saling membantu satu sama lain,” kata Dhita.
Maka faktor kelestarian lingkungan harus jadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan oleh berbagai pihak terutama oleh negara.
“Pemerintah tidak akan menjadikan isu lingkungan sebagai prioritas jika kita tidak menuntutnya. Dan kita harus memilih pemimpin yang memprioritaskan isu lingkungan. Apalagi butuh 6 kali generasi untuk bisa berubah secara transformatif dalam aspek lingkungan,” ungkap mantan Ketua PPI London itu.
Dhita mengusulkan salah satu upaya yang bisa dilakukan milenial-gen Z ke depan terkait perubahan iklim dan pelestarian lingkungan adalah dengan memperjuangkan kerangka kebijakan yang tidak bertentangan antara bisnis dengan faktor lingkungan.
“Kunci buat kita generasi muda bagaimana bisa kita mengganti framework, agar instrumen lingkungan tidak dianggap mengurangi profit, tapi justru menjaga keberlanjutan profit bagi bisnis. Bagaimana bisnis bisa lancar jika alam rusak?,” ujar Dhita.
Persoalan di atas, menurut Co-Founder BersamaIndonesia Dr Rahmat Yananda mengerucut pada satu isu yakni Keadilan Antargenerasi. Di mana aktivitas generasi hari ini tidak boleh mengurangi manfaat yang sama untuk generasi masa depan.
“Kita punya hak ke masa depan terkait sumber daya alam dan ragam sumber daya lain. Pastikan keadilan antargenerasi menjadi penting untuk kita perjuangkan,” ungkap pakar kebijakan publik tersebut.
Satu-satunya cara menuntut hak generasi masa depan adalah dengan memintanya lewat jalur politik. “Kita harus minta secara politik, jika tidak kita tidak akan diberi. Jika tidak begitu alokasi sumber daya hanya untuk kelompok yang bisa membayar,” pungkas Rahmat.
Kemudian Co-Founder BersamaIndonesia Bachtiar Firdaus menegaskan bahwa sudah saatnya anak muda ambil bagian dalam memastikan proses politik hingga perumusan kebijakan publik yang berkeadilan.
“Saatnya kaum muda bergerak dan tidak sekadar berpangku tangan, take action miracle happen!,” tegas Bachtiar.
Diskusi yang dihadiri lebih dari 50 peserta itu kemudian dipungkasi dengan deklarasi Gerakan BersamaIndonesia Chapter Depok, dipimpin langsung oleh Ketua BEM Universitas Negeri Jakarta 2021 sekaligus Koordinator Gerakan BersamaIndonesia Chapter Depok Alfian Fadhilah.