Patriotime Nakes di Krisis Covid 19
RUU Kesehatan adalah pengkhianatan kepada para tenaga kesehatan (nakes). RUU Kesehatan mengabaikan keberadaan para nakes sehingga memunculkan penolakan besar-besaran. Tidak akan terlupakan dalam sejarah bangsa ini ketika Covid 19 menyerang Indonesia, para nakes muncul sebagai patriot berada di garis depan dengan berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara.
Serangan Covid-19 merupakan uji kemampuan dan keandalan sistem layanan kesehatan nasional yang jauh dari harapan ketika virus Covid-19 memasuki Indonesia. Buruknya kapasitas negara terlihat dari tidak memadainya fasilitas kesehatan (faskes), alat Kesehatan, obat-obatan, dan terbatasnya jumlah nakes. Alih-alih belajar dari krisis Covid 19 untuk mengevaluasi sistem kesehatan nasional, pembuat undang-undang malah membuat berang para nakes.
Saat negara tergopoh-gopoh menangani krisis, mau tidak mau tenaga kesehatan harus pasang badan. Indonesia sempat jadi negara dengan jumlah nakes terbanyak meninggal di Asia. Hingga Juli 2022, 2.087 nakes telah gugur dengan jumlah terbanyak dari dokter sebanyak 751 jiwa. Menurut penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), mayoritas penyebab meninggalnya nakes akibat burnout atau kelelahan bekerja. Sementara menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), selain karena paparan virus yang intens terhadap dokter, penyebab meninggalnya dokter adalah akibat faktor usia. Di mana banyak dokter lanjut usia yang memiliki komorbid berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan menyelamatkan nyawa pasien.
Per Juni 2023, 161.836 jiwa meninggal dunia akibat covid-19, tertinggi kedua di Asia. Penanganan covid-19 di Indonesia juga sempat jadi salah satu yang terburuk di dunia dengan testing rate hanya 36 orang per 1 juta populasi pada April 2020. Kini, meski testing rate di Indonesia telah meningkat berkali-kali lipat, namun Indonesia masih menduduki peringkat 134 dunia jika diukur dari tes per 1 juta populasi.
Salah satu trauma krisis Covid-19 adalah kurangnya jaminan perlindungan untuk para nakes. Negara juga tak menyelesaikan masalah tersebut namun malah mendorong pendekatan ekonomi semata. Kecenderungan pemerintah untuk mengedepakan pendekatan ekonomi ketimbang kepentingan nakes terlihat dalam RUU Kesehatan. Hal ini merupakan kelanjutan pola pikir yang sama ketika pemerintah setengah hati menjalankan kebijakan lockdown karena kekhawatiran ekonomi. Akibatnya pasien terus bertambah yang membuat nakes dan faskes kolaps.

Tenaga kesehatan kelelahan (sumber: Antara)
Saat pandemi melandai, ujian nakes masih belum selesai. Ratusan nakes dari 18 provinsi tak kunjung mendapatkan insentif. Bahkan ketika ada yang mempertanyakan insentifnya, seorang nakes justru diberhentikan.
Pengkhianatan RUU Kesehatan Omnibus Law
Belum genap setahun sejak nakes terakhir meninggal dunia akibat Covid-19 pada Juli 2022, para pahlawan penjaga garda terdepan saat Pandemi Covid-19 harus turun ke jalan karena nasibnya terancam oleh RUU Kesehatan Omnibus Law.

Demonstrasi ribuan nakes dari berbagai organisasi profesi menolak RUU Kesehatan (Sumber: Twitter @PBIDI)
Para penyelenggara negara, seolah kehilangan nurani tak mampu berterima kasih kepada 2.087 nakes yang gugur serta 1,4 juta nakes lain yang bertaruh nyawa menolong lebih dari 6,6 juta rakyat Indonesia sembuh dari covid-19.
Pemerintah boleh saja memberikan bintang jasa dalam rangka berterima kasih kepada nakes. Namun lebih dari itu, pemerintah semestinya juga berterima kasih secara kolektif dan berkelanjutan dengan menghargai dan melindungi profesi tenaga kesehatan. Alih-alih demikian, pemerintah bersama DPR justru menggodok secara tidak transparan RUU yang bakal menghapus peran organisasi profesi serta berpotensi memidanakan nakes.
Itulah di antara alasan yang menggerakkan puluhan ribu nakes berkali-kali turun ke jalan. 5 organisasi profesi yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) kompak menolak RUU Kesehatan. Didukung berbagai kalangan seperti Muhammadiyah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
RUU Kesehatan amat strategis sebab merevisi dan mencabut 9 Undang-Undang terkait kesehatan yakni UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Kebidanan, serta mengubah sebagian pasal 4 Undang-Undang di luar kesehatan yaitu UU BPJS, UU Sistem Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Pendidikan Tinggi. Ironisnya, pembahasan dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi tenaga kesehatan apalagi publik. Saat diusulkan pada 17 Desember 2019, sama sekali tak ada pelibatan publik hingga di tahun 2022 draft-nya bocor dan mendapat penolakan keras dari para tenaga kesehatan.
RUU Kesehatan: Solusi Subjektif untuk Masalah Objektif
Sejumlah pihak yang mendukung RUU Kesehatan mengklaim bahwa regulasi sapu jagat di bidang kesehatan ini dibuat dengan tujuan penyesuaian sistem kesehatan nasional pasca-pandemi Covid-19 agar negara mampu merespons krisis atau pandemi ke depan. Sayangnya, klaim tersebut terpatahkan karena rendahnya partisipasi publik terutama tenaga kesehatan yang diwakili oleh organisasi profesi.
Masalah objektif berupa lemahnya sistem kesehatan nasional semestinya dijawab dengan evidence based policy, bukan dengan ragam solusi subjektif dalam RUU Kesehatan yang lemah secara akademik. Alih-alih menjawab kebutuhan publik dan berbagai stakeholder kesehatan, RUU ini justru mendapat penolakan keras dari berbagai pihak karena amat problematik dan justru berpotensi merusak sistem kesehatan nasional.
Ancaman terhadap sistem kesehatan nasional sangat kentara dalam RUU ini. Kewajiban negara dalam menyediakan hak dasar berupa layanan kesehatan yang memadai untuk seluruh rakyat Indonesia yang merupakan amanat UUD 1945, diurai satu per satu dalam RUU Kesehatan. Pertama, RUU ini melepas tanggung jawab negara dalam mandatory spending atau mengalokasikan anggaran kesehatan yang memadai, yaitu dengan menghapus Pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan Pemerintah mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan. Dengan penghapusan batas minimal anggaran, pemerintah bisa mengurangi alokasi anggaran untuk kesehatan sehingga menghilangkan banyak sekali hak dasar rakyat dan kelompok rentan. Misalkan berbagai vaksin dan obat-obatan yang semula ditanggung oleh pemerintah akan berbayar dan tak bisa diakses kelompok rentan.
Baca Juga: Pemenuhan Gizi sebagai Cermin Keadilan Sosial
Kedua, RUU Kesehatan bakal mempreteli BPJS Kesehatan yang merupakan pelaksana jaminan kesehatan nasional. Perannya sebagai lembaga independen di bawah Presiden bakal diturunkan dalam koordinasi Kementerian Kesehatan sebagaimana tertuang dalam pasal 425 RUU Kesehatan. Selain itu, BPJS Kesehatan yang merupakan representasi negara dalam menyelenggarakan jaminan sosial (social security net) akan setara dengan asuransi swasta yang komersil. Artinya akan ada bias antara tanggung jawab negara menjalankan jaminan kesehatan nasional dengan paradigma bisnis swasta.
Ketiga, RUU Kesehatan memiliki paradigma yang berorientasi pada pasar bebas dan investasi. Padahal penyediaan layanan kesehatan adalah tanggung jawab negara dalam menyediakan hak dasar untuk rakyat. Alih-alih memenuhi hak dasar rakyat, dalam RUU Kesehatan negara justru hendak berbisnis dengan rakyatnya. Hal itu dilakukan dengan menghapuskan tanggung jawab negara dalam menyediakan jaminan pembiayaan di rumah sakit untuk fakir miskin di luar Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS.
Selain itu, paradigma bisnis nampak ketika RUU Kesehatan mengurai berbagai kewenangan organisasi profesi dan institusi akademik yang dianggap sebagai halangan dalam memproduksi dokter, dokter spesialis dan tenaga kesehatan lain sebanyak-banyaknya. Padahal organisasi profesi dan institusi akademik adalah penjamin penting dalam mewujudkan tenaga kesehatan yang berkualitas dan memenuhi kode etik. Penghapusan kewenangan itu jelas-jelas bertentangan dengan pelaksanaan kebijakan berbasis scientific evidence di mana salah satu kewenangan itu ada pada organisasi profesi dan institusi akademik.
Tak hanya itu, negara juga membuka peluang seluas-luasnya bagi tenaga kesehatan asing untuk bisa berpraktek di Indonesia. Jika tidak dibatasi dan diregulasi dengan baik, gelombang nakes asing ke depan bakal mengancam sistem pelayanan kesehatan yang ada. Layanan kesehatan ke depan hanya akan jadi pasar bebas yang menguntungkan bagi pemilik modal.
Keempat, RUU kesehatan yang telah menggeser paradigma negara sebagai penyedia hak dasar menjadi penyelenggara pasar bebas jasa kesehatan, membuat negara dalam RUU Kesehatan mengabaikan banyak sekali hak kelompok rentan. Dalam RUU Kesehatan, definisi kelompok rentan hanya berkutat pada ibu hamil, menyusui, anak balita, dan lanjut usia. Padahal definisi kelompok rentan jika merujuk pada WHO lebih luas, terdiri dari tunawisma, orang yang tinggal di daerah kumuh, pekerja migran, pengungsi akibat bencana alam, penyandang disabilitas, masyarakat adat, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan kemiskinan ekstrem, wanita hamil dan menyusui, anak-anak, serta orang lanjut usia.
Praktik Baik Kepemimpinan Kolaboratif
Penanganan Pandemi Covid-19 sempat berada di jalur yang tepat di awal kemunculannya. Hal itu dimulai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian diikuti oleh daerah lain dengan pengawasan pemerintah pusat. Sayangnya, kebijakan PSBB diakhiri oleh pemerintah pusat diganti dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih longgar tanpa upaya pengetesan (testing), penelusuran (tracing) dan perawatan (treatment) yang memadai. Ironisnya bahkan di awal masa pandemi, pemerintah pusat malah mencegah upaya pengetesan (testing) masif yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
Padahal jika dilihat dari data di atas, kebijakan PSBB yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sangat efektif dalam menekan laju penyebaran virus Covid-19. Baru ketika PSBB beralih jadi PPKM, penyebaran covid-19 semakin meningkat pesat akibat kebijakan PPKM yang tidak efektif.
PSBB yang diterapkan di awal Pandemi oleh Pemprov DKI Jakarta dilakukan berdasarkan evidence based policy dengan beberapa langkah yaitu pengumpulan dan analisis data, mengandalkan riset dan studi ilmiah, mengevaluasi dampak intervensi dan kebijakan yang diterapkan serta membangun komunikasi dan transparansi. Selain itu, kolaborasi antara Pemprov DKI Jakarta dengan berbagai pihak terutama organisasi profesi dan institusi pendidikan menjadi kunci efektifnya penanganan covid-19 di awal Pandemi.
Pemprov DKI Jakarta tidak hanya memberikan beban pada nakes dalam menanganani covid-19, tapi menjadi regulator yang efektif dengan melakukan refungsi, redistribusi dan rekrutmen nakes dengan efektif. 190 rumah sakit dan 129 laboratorium Kesehatan berkolaborasi dengan Pemprov DKI menghadapi Pandemi. Tak hanya itu, Pemprov DKI juga menggalang Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) dengan berbagai elemen masyarakat dan sektor privat lewat kolaborasi sosial dan teknologi dalam rangka membangun sistem serta masyarakat yang resilien terhadap Covid-19. Outputnya, masyarakat yang membutuhkan terbantu dengan berbagai insentif sosial, pelayanan kesehatan dan vaksinasi mudah diakses, serta komunikasi publik semakin efektif. Sehingga pencegahan penyebaran Covid-19 di hulu dapat teratasi dan penanganannya di hilir oleh Nakes di rumah sakit semakin ringan.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sedang berbincang dengan tenaga kesehatan dalam peninjauan vaksinasi Covid-19 booster di RSUP Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (4/9/2021) (Sumber: Wartakota)
Dalam mendorong kolaborasi, kepemimpinan menduduki peran yang amat sentral. Ansell & Gash (2008) menempatkan dimensi kepemimpinan sebagai titik awal di mana kolaborasi tidak akan pernah terjadi tanpa ada dimulai oleh pemimpin politik. Sementara Emerson & Nabatchi (2015) justru menempatkan kepemimpinan dalam posisi yang lebih krusial, yakni sebagai driver. Artinya kepemimpinan tidak hanya memulai tapi menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam sebuah kolaborasi.
Baca Juga: Policypreneur Berkeadilan Sosial dan Pilihan Milenial-Gen Z di 2024
Perumusan RUU Kesehatan yang tidak partisipatif apalagi kolaboratif, meninggalkan sebuah evaluasi besar pada kepemimpinan nasional. Apalagi jika dilihat dari muatan pasal-pasalnya yang hanya mengakomodasi satu pihak dan mengabaikan pihak lain terutama nakes. Proses legislasi semacam ini bukan yang pertama kali di Indonesia, sebelumnya RUU Cipta Kerja Omnibus Law juga demikian. Maka guna memperbaiki situasi legislasi dan perumusan kebijakan yang berjarak dari publik, perlu dilakukan evaluasi kepemimpinan nasional baik di level eksekutif maupun legislatif dalam proses Pemilihan Umum 2024 mendatang.
Keteladanan Nakes sebagai Paradigma Welas Asih (Caring Paradigm)
Dalam perumusan RUU Kesehatan pasca-pandemi, Negara semestinya mawas diri atas kegagalannya menangani Covid-19 dengan baik. Sementara nakes pasang badan atas lemahnya sistem kesehatan nasional. Maka dalam rangka transformasi sistem kesehatan nasional sebagaimana dimaksudkan dalam RUU Kesehatan, semestinya tidak boleh mengabaikan nakes. Bahkan dalam perumusannya, Paradigma Welas Asih (Caring Paradigm) yang telah dipelopori oleh Nakes menjadi nilai keutamaan dan spirit yang menggerakkan sistem kesehatan nasional. Bukan paradigma ekonomi (bisnis) yang menjadikan pelayanan kesehatan sebagai komoditas.
Paradigma Welas Asih ala Nakes, harus jadi etika bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam perumusan kebijakan publik apalagi terkait dengan kesehatan. Caring Paradigm bukanlah hal baru, dalam pendekatan ekonomi, Riane Eisler dalam The Real Wealth of Nations: Creating Caring Economics (2007) menyebut bahwa aset terpenting bukanlah finansial melainkan kontribusi berbagai pihak berbasis sosial dan alam.
Dengan proses pembahasan RUU Kesehatan yang tidak inklusif dan partisipatif dengan paradigma yang mengutamakan bisnis ketimbang hak dasar rakyat, maka pembahasan RUU Kesehatan semestinya dihentikan. Agar dapat dimulai pembahasan dan perumusan berbasis paradigma welas asih yang kolaboratif dengan pendekatan evidence based policy.
***
Redaksi BersamaIndonesia