Transportasi Publik, Wajah Keadilan Ruang di Era Society 5.0

by | Jan 23, 2023

Dengan keadilan ruang, termasuk akses setara terhadap transportasi dengan transportasi publik, menurut Soja dapat membentuk kohesi sosial yang jauh lebih baik. Itulah yang dia sebut sebagai sosio-spasial di mana ruang dapat membentuk hubungan sosial sebagaimana hubungan sosial dapat membentuk ruang.

Oleh: Ahmad Jilul QF (Jurnalis)

Juli 2018 lalu, saya berkunjung ke Bangladesh untuk liputan dan misi kemanusiaan menyalurkan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar. Dalam kesempatan itu, saya sempat beberapa hari singgah di Ibu Kota Bangladesh, Dhaka.

Saya sempat khawatir ketika hendak berangkat sebab berdasarkan data Safe Travel Kemenlu RI, Bangladesh termasuk negara dengan indikator orange yang perlu kewaspadaan tinggi saat dikunjungi.

Benar saja, setibanya di Dhaka, saya disambut dengan bisingnya klakson di jalanan. Hampir semua kendaraan selalu membunyikan klakson setiap saat dari pagi sampai malam hari. Sampai-sampai saat menginap di hotel yang berada di pinggir jalan, tidur begitu sulit saking bisingnya.

Situasi jalanan di Kota Dhaka, Ibu Kota Bangladesh yang selalu macet pada Juli 2018 (Dok Pribadi)

Kondisi jalan dan transportasi di Dhaka benar-benar semrawut, macet sepanjang hari dengan klakson kendaraan yang selalu berbunyi. Jika jalanan sedikit lengang semua kendaraan kebut-kebutan, tentu ditambah klakson yang keras berbunyi pula. Transportasi publik tidak memadai, jika hendak bepergian, pilihan selain kendaraan pribadi hanyalah rickshaw (sejenis becak) untuk jarak dekat, CNG alias Bajai dan Uber untuk jarak yang lebih jauh. Bus kota sangat tidak direkomendasikan, selain busnya yang tua dan tidak terawat, sopirnya sering ugal-ugalan.

Bus Kota Dhaka yang bukannya jadi solusi mobilitas warga namun justru jadi masalah (Dok Pribadi)

Benar saja, tak sampai sebulan setelahnya, 2 mahasiswa tewas ditabrak oleh bus yang sopirnya ugal-ugalan. Insiden itu kemudian mengundang gelombang protes yang masif di seluruh Bangladesh. Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan menuntut keadilan atas rekan mereka yang tewas, menuntut keamanan di jalan berikut transportasi publik yang layak. Sayangnya, demonstrasi itu ditanggapi pemerintah dengan cara represif, ratusan orang terluka sementara puluhan lainnya ditahan.

Beberapa waktu lalu, saya melihat transportasi publik di Bangladesh nampaknya semakin membaik. Saya tidak membayangkan Dhaka yang amat semrawut itu kini punya Mass Rapid Transportation (MRT) yang sama seperti di Jakarta. Padahal kita tahu PDB Bangladesh jauh sekali di bawah Indonesia, tapi mereka bisa mengupayakan transportasi publik yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Publik tampak antusias menyambut transportasi publik baru itu setelah sebelumnya hanya punya opsi bus kota yang berpotensi besar mencelakakan jiwa.

Experts: Chaos likely at Agargaon point, may spoil Metro Rail's image | Dhaka Tribune

MRT yang baru beroperasi di Kota Dhaka (foto DHaka Tribune)

Mewujudkan Keadilan Ruang dengan Transportasi Publik

Berkaca dari situasi jalanan di Bangladesh yang berbahaya dan menyebabkan gerakan protes massal, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Pertama, jalanan perlu diatur, baik kendaraan pribadi dan transportasi publik. Membiarkan kendaraan pribadi terus bertambah seiring transportasi publik yang tidak dibenahi bisa mengakibatkan bencana besar. Jalanan terbatas sementara mobilitas manusia terus meningkat, membiarkan pertumbuhan kendaraan pribadi tanpa memikirkan transportasi publik, akan jadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Baca Juga: Republik Indonesia, Cita-cita Keadilan Sosial, dan Problem Ketimpangan

Kedua, keberpihakan untuk menyediakan dan menata transportasi publik agar semakin baik dan memadai merupakan wujud penegakan keadilan. Sebab tak semua orang bisa mengakses kendaraan pribadi, apalagi yang nyaman. Membiarkan kendaraan pribadi tumbuh pesat sama dengan membiarkan ketimpangan di jalanan terus meningkat, membiarkan jalan hanya bisa diakses kalangan yang mampu, dan membiarkan kelas bawah terusir dari jalan. 

Situasi semacam itu disebut oleh Guru Besar Urban Planning di UCLA dan LSE, Edward Soja sebagai diskriminasi lokasi, di mana suatu ruang publik hanya didominasi kelompok tertentu dan membuat yang lain tak punya akses yang sama. Dengan menghadirkan transportasi publik yang accessible untuk semua pihak, apa yang disebut Soja sebagai Spatial Justice atau Keadilan Ruang dapat terwujud.

Dengan keadilan ruang, termasuk akses setara terhadap transportasi dengan transportasi publik, menurut Soja dapat membentuk kohesi sosial yang jauh lebih baik. Itulah yang dia sebut sebagai sosio-spasial di mana ruang dapat membentuk hubungan sosial sebagaimana hubungan sosial dapat membentuk ruang.

Di era Society 5.0 di mana kemajuan semakin berorientasi pada manusia di atas perkembangan teknologi, membangun transportasi publik yang memadai untuk mewujudkan keadilan ruang dan kohesi sosial yang lebih baik, tak bisa ditawar!.

Baca Juga: Kolaborasi sebagai Jalan Menuju Keadilan Sosial

***