Di kalangan aktivis 98, ada adagium yang menyebut bahwa gerakan itu dimulai di Jogja, membesar di berbagai Ibu Kota Provinsi lalu meledak di Jakarta yang merupakan Ibu Kota Negara. Jogja memang istimewa, ia menjadi tempat memulai gerakan karena ekosistemnya begitu mendukung dalam membangun ide dan narasi lalu diperkuat dengan dialektika.
Mencari lingkar diskusi ragam ideologi bukanlah hal sulit di Jogja, dari kiri hingga religius. Pun mencari referensi juga begitu mudah, dari ragam perpustakaan, toko buku hingga loak buku bekas. Tak heran, jika kota pelajar ini terbukti berhasil melahirkan nama-nama besar seperti Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Romo Mangunwijaya, Emha Ainun Nadjib, Syafii Maarif dan masih banyak lagi.
Di Jogja pun wacana tak menguap begitu saja, narasi pada ujungnya bisa melahirkan aksi. Aksi massa terbesar yang terakhir kali muncul di Jogja lalu kemudian menyebar ke kota-kota lain yaitu Gejayan Memanggil yang memprotes revisi UU KPK dan revisi KUHP.
Sabtu, 21 Januari 2023, puluhan anak muda dari Jogja dan Solo berkumpul. Undangan agenda itu mengajak kaum muda untuk membahas topik yang tak ringan yakni keadilan sosial. Dimulai dari pembahasan yang abstrak, anak-anak muda yang rata-rata terdiri dari mahasiswa, akademisi, pekerja startup hingga pegiat sosial ini mampu mengelaborasinya hingga menyentuh isu-isu riil di masyarakat.
Baca Juga: Republik Indonesia, Cita-cita Kemerdekaan dan Problem Ketimpangan
Kaum muda yang hadir dalam forum itu membincangkan ragam persoalan bangsa hari ini. Mereka sepakat bahwa kondisi bangsa tidak bisa dibilang sedang baik-baik saja. Di sisi eksekutif, pemerintah banyak gagal dalam mengeksekusi kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. Kepentingan segelintir kelompok lebih didahulukan daripada kepentingan publik. Di sisi legislatif, produk legislasi banyak yang dikebut hanya untuk memenuhi, sekali lagi kepentingan segelintir kelompok. Puncaknya di sisi yudikatif, independensi Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung terus diintervensi.
Di Jogja sendiri, banyak ketimpangan dan salah kelola kebijakan muncul di depan mata. Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan DIY sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Alih-alih muncul itikad baik untuk perbaikan, yang muncul justru apologi terhadap situasi memprihatinkan itu. Tak hanya itu, sampah jelas-jelas kini jadi bom waktu di daerah yang katanya penuh filosofi dan kebudayaan ini. Per harinya, Kota Yogyakarta saja menghasilkan 259,60 Ton sampah per hari. Akibatnya kondisi TPST Piyungan kian memprihatinkan, sementara limbahnya terus mengotori sungai di provinsi yang jadi barometer wisata nasional.
Menariknya, dalam forum yang dinamis itu tak mau hanya menyalahkan keadaan atau pemegang kekuasaan, mereka ingin berbuat.
“Sampah menumpuk di Jogja, pertanyaannya bukan cuma bagaimana ini pemda? Tapi sudahkah kita memilah sampah untuk mengurangi beban TPST Piyungan? itu cara kita untuk memulai kontribusi,” kata Dzikri Asykarullah yang merupakan seorang Pengamat Kebijakan Publik.
Luar biasanya, ternyata di forum itu hadir para pemuda pelopor dan penggerak yang telah melakukan aksi nyata. Ada Fathin Naufal, Product Manager di GoJek yang telah melakukan inovasi teknologi untuk menyelesaikan persoalan food waste. Dengan teknologi, dia bisa menghimpun makanan sisa yang masih layak untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Atas aksinya itu, Naufal mendapat penghargaan sebagai pemuda pelopor nasional. Dia juga melakukan aksi sosial lain lewat inovasi teknologi dengan mendirikan PT Inovasi Teknologi Kebaikan.
Ada pula Triana Rahmawati, aktivis perempuan yang menggagas beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Dia juga menggagas Griya Schizofren untuk membantu para penyandang Skizofrenia. Dari kalangan pengusaha muda, hadir Ibnu Asyrin yang tengah membangun bisnis kuliner dengan puluhan cabang di Yogyakarta dan sekitarnya. Lalu dari kalangan akademisi hadir para Dosen seperti Alfath Bagus Panuntun dan Aqmal Nur Jihad yang dalam kesehariannya berusaha untuk mengembalikan khittah ilmu agar bisa melahirkan kemaslahatan untuk publik. Hadir pula para aktivis mahasiswa seperti Mantan-mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan gerakan mahasiswa lainnya yang hingga hari ini masih terus berbuat untuk orang banyak.
Dari forum tersebut, kita bisa melihat gambaran bahwa sejatinya kaum muda telah banyak berbuat, melakukan aksi sosial di berbagai ranah dan daerah. Namun pertanyaannya, mengapa hal itu tidak bisa memberi dampak yang luas dan jangka panjang?. Di situlah pentingnya politik dan kebijakan publik. Di mana persoalan struktural di masyarakat tidak bisa hanya diselesaikan sesaat dengan aksi sosial aja, tapi hanya bisa diselesaikan akar permasalahannya melalui pemangku kebijakan agar dapat tuntas dalam jangka panjang.
Baca Juga: Kolaborasi sebagai Jalan Menuju Keadilan Sosial
Aktivisme yang Kian Tak Relevan
Salah satu mahasiswa yang hadir dalam forum itu mengeluhkan kondisi gerakan mahasiswa yang kian tak diminati di kampus. Organisasi mahasiswa kini sepi bergeser ke magang dalam program Kampus Merdeka oleh Kemendikbudristek. Akibatnya, dia mengeluhkan mahasiswa kian pragmatis hanya memikirkan karirnya di masa depan atau benefit yang bisa dia dapatkan hari ini. Sementara organisasi mahasiswa semakin sepi peminat dan problem kebijakan publik dan masalah sosial di masyarakat kian tak tersentuh.
Upaya untuk me-link and match-kan dunia pendidikan dengan industri oleh Pemerintah boleh dibilang sukses besar. Mahasiswa kini berbondong-bondong mempersiapkan dirinya untuk fit dengan industri. Akibat tidak langsungnya, aktivisme dan pergerakan kian tak relevan buat mahasiswa.
Pantas saja, jeritan rakyat dan warganet akan kondisi bangsa yang semakin mencekik kelas menengah ke bawah, tak disambut oleh mahasiswa hari ini. Semua menguap begitu saja seiring demokratisasi yang kian memburuk akibat dibungkamnya ragam kritik.
Formula Baru Gerakan Kaum Muda
Keresahan kaum muda menyeruak di ruangan sebuah kafe di tengah Kota Jogja itu. Kondisi bangsa tidak baik-baik saja sementara gerakan pemuda dan mahasiswa hanya gamang dalam meresponsnya. Padahal, ragam aksi konkret telah mereka lakukan di berbagai sektor. Tapi nyatanya, dampaknya tidak bisa seluas kebijakan publik yang diketok oleh negara, atau tak bisa selama produk perundang-undangan yang diketok oleh Parlemen.
Dalam diskusinya, kaum muda Jogja dan Solo ini menarik satu benang merah dari ragam persoalan bangsa hari ini, yakni tidak hadirnya Keadilan Sosial yang merupakan cita-cita pendiri bangsa.
Baca Juga: Transportasi Publik, Wajah Keadilan Ruang di Era Society 5.0
Kaum muda yang hebat-hebat ini, tak mau perkumpulan mereka bubar begitu saja. Mereka pun bersepakat untuk melanjutkan dialektika untuk bisa mewujudkan keadilan sosial tak hanya dari aksi sosial semata, tapi juga lewat gerakan yang menyasar ranah struktural menyentuh kebijakan publik.
Mereka bersepakat, gerakan aktivisme dengan formula baru perlu digagas. Agar ia dapat mengetuk hati lebih banyak kaum muda hari ini, untuk ikut bersama-sama bergerak menyelesaikan penderitaan rakyat dan persoalan publik, Maka dideklarasikanlah Gerakan BersamaIndonesia Chapter Jogja-Solo yang bakal menjadi wadah dialektika dan gotong royong kaum muda, untuk mewujudkan keadilan sosial secara struktural.
Berikut bunyi deklarasi itu:
DEKLARASI BERSAMAINDONESIA CHAPTER JOGJA-SOLO
Di tengah kegelisahan akan penderitaan rakyat, ketimpangan yang merajalela, serta tak terjaminnya nasib kaum muda di masa depan, didirikanlah Gerakan Bersamai Indonesia, untuk mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan, dengan agenda:
Satu, Peduli Kaum Muda dan Generasi Masa Depan Indonesia
Dua, Mendorong Ekosistem yang Adil, Adaptif dan Resilien di Tengah Ketidakpastian Global
Tiga, Gotong Royong Bangun Politik Partisipatif Menuju Kebijakan Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berpihak pada Rakyat
atas nama
Kaum Muda Jogja dan Solo
Koordinator Gerakan BersamaIndonesia
Chapter Jogja Solo
***
Redaksi BersamaIndonesia