Jika pendiri bangsa dengan rela hati sebagai kelompok elite kala itu menyerahkan kekuasaan pada rakyat banyak untuk mewujudkan keadilan sosial, semestinya perjuangan itu harus sama-sama kita lanjutkan.
Republik Indonesia didirikan oleh banyak orang dan untuk banyak orang. Pendirian republik ini menjadi penanda bergesernya bandul ruling class di Nusantara yang sebelumnya dipegang oleh elite aristokrat atau priyayi menjadi dipegang oleh publik. Pembukaan UUD 1945 jelas-jelas secara eksplisit menyebut bahwa republik ini didirikan dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Pergeseran bandul ruling class di Indonesia, bisa kita lihat dari heroisme para founding person republik ini yang keluar dari zona nyamannya sebagai elite dan priyayi, rela memikirkan dan memperjuangkan nasib seluruh rakyat. Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim dan masih banyak lagi, kebanyakan berasal dari keluarga bangsawan, ningrat atau priyayi.
Soekarno merupakan keturunan Raja Kediri dari jalur sang Ayah, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibu Soekarno Ida Ayu Nyoman Rai juga seorang bangsawan di Bali dengan kasta Brahmana. Lalu Hatta adalah keturunan dari ulama besar mursyid tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera yaitu Syekh Abdurrahman Batuhampar. Sementara Sutan Sjahrir merupakan anak dari Maharadja Soetan bin Leman adalah penasehat Sultan Deli. Dan masih banyak lagi para pendiri bangsa yang mayoritas merupakan keturunan ningrat atau kalangan elite.
Para pendiri bangsa berjuang bukan untuk kelasnya, tidak pula mendirikan sebuah negeri yang kelak bakal nyaman untuk kelasnya saja, tapi untuk semua kalangan tanpa memandang status sosial, suku hingga agama. Spirit perjuangan untuk kepentingan publik ini, yang kemudian jadi alasan demokrasi dipilih sebagai sistem politik paling visible untuk mewujudkan keadilan sosial.
Sayangnya, demokrasi yang berorientasi pada keadilan sosial, nyatanya tak selalu ideal dalam penerapannya. Bahkan saat Republik Indonesia masih seumur jagung, proses demokratisasi di negeri ini tak berjalan dengan baik dengan lahirnya demokrasi terpimpin oleh Soekarno.
“Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realita dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” kata Mohammad Hatta dalam salah satu artikelnya di Majalah Panjimas pada tahun 1960.
Ketika demokrasi berusaha digeser paksa ke bandul otoritarian, sejarah membuktikan bagaimana rakyat sebagai subjek utama demokrasi akan menggesernya kembali ke arah yang lebih demokratis. Contohnya adalah runtuhnya orde lama hingga orde baru, lalu kemudian kini hadirnya era reformasi.
Lebih dari 2 dekade pasca gerakan reformasi 1998, demokrasi telah dijalankan secara prosedural mulai dari level politik nasional hingga daerah. Lantas pertanyaannya, sudahkah penerapan demokrasi menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Jika hendak jujur, tentu jawabannya belum atau boleh jadi makin jauh dari cita-cita dan idealisme awal para pendiri bangsa. Riset yang dilakukan The Economist Intelligence Unit sejak 2020 menunjukkan Indonesia telah bergeser dari negara dengan predikat full democracy menjadi flawed democracy. Menurut The Economist, Flawed Democracy berarti proses demokrasi di suatu negara punya tata kelola dan budaya politik yang buruk. Jika dibiarkan, kualitas demokrasi Indonesia bisa semakin memburuk ke arah yang disebut sebagai the Economist sebagai Hybrid Regime di mana prosedur demokrasi diterapkan tapi media dibredel, masyarakat sipil ditekan, aktivis ditangkap, korupsi merajalela dan supremasi hukum amat lemah.
Menurunnya kualitas demokrasi sejalan dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi. Hal itu terjadi akibat berkuasanya sekelompok kalangan elite yang biasa disebut oligarki, menguasai politik dan perekonomian nasional. Oligarki pun naik sebab demokrasi sudah tidak sehat di mana biaya politik begitu tinggi. Akibatnya kelompok pemodal saja yang bisa mengendalikan siapa yang bisa maju dan siapa yang bisa dipilih dalam prosedur demokrasi.
Ekonom Senior INDEF, Prof Didin Damanhuri menyebut oligarki akan tumbuh subur dalam sebuah sistem politik yang tidak demokratis dengan mengendalikan kontrol ekonomi dan politik sebuah negara. Terjadinya koalisi gemuk di parlemen adalah bukti bekerjanya oligarki. Dia bekerja dengan mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik dalam proses legislasi, sebagaimana diminta oleh undang-undang.
Akibatnya, pengaturan ekonomi nasional diarahkan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok, bukan untuk kesejahteraan umum apalagi untuk keadilan sosial. Terdekat, kita bisa melihat niat pemerintah yang hendak menyubsidi kendaraan listrik yang jelas-jelas hanya bisa diakses kelas menengah atas. Alih-alih menyubisidi transportasi publik, subsidi justru dibajak untuk proyek pengadaan mobil listrik yang harganya selangit.
Tak hanya subsidi, konstitusi yang semestinya menjamin nasib rakyat banyak dalam jangka panjang, justru digunakan sebagai instrumen penjamin keuntungan investor melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lebih parah lagi, ketika secara konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU cacat tersebut, Pemerintah malah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja secara sepihak alih-alih membahas ulang dengan DPR.
Jika didaftar, masih banyak deretan kebijakan publik yang sama sekali tidak menunjukkan spirit demokrasi dan keadilan sosial. Hal itu terjadi sebab lemahnya political will penguasa untuk berpihak pada rakyat.
Barangkali kelompok berkuasa boleh jadi punya intensi untuk mewujudkan kesejahteraan, namun tak punya kreativitas selain mengikuti trickle down effect untuk mewujudkan kesejahteraan. Yaitu dengan memberikan keberpihakan ekonomi pada pemegang modal saja, dengan berharap ada kucuran ekonomi pada kelas di bawahnya.
Akibatnya keadilan sosial hanya berhenti pada tataran jargon yang selalu digaungkan dalam setiap pidato. Sementara dalam penerapannya, penyelenggara negara tak punya kapasitas dalam mengoperasionalisasikannya dalam level kebijakan konkret.
Lebih dari 2 dekade pasca rakyat menggeser bandul demokratisasi kembali kepada rakyat, sudah saatnya demokratisasi tak hanya dituntut kembali ke tataran prosedural, tapi juga bagaimana demokratisasi terjadi secara substansial dalam ranah politik dan ekonomi. Jika pendiri bangsa dengan rela hati sebagai kelompok elite kala itu menyerahkan kekuasaan pada rakyat banyak untuk mewujudkan keadilan sosial, semestinya perjuangan itu harus sama-sama kita lanjutkan.
Redaksi BersamaIndonesia