Kolaborasi sebagai Jalan Menuju Keadilan Sosial

by | Jan 23, 2023

Pemilu 2024 mendatang menjadi momentum penting dalam memilih pemimpin yang berorientasi pada kolaborasi. Pemimpin terpilih itu, nantinya akan menjadi driver yang menentukan apakah collaborative governance akan terlaksana atau justru tidak sama sekali

Oleh: Grady Nagara (Pengamat Kebijakan Publik) 

Apa sebenarnya tujuan bernegara? Konstitusi menyebut empat hal: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, serta (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berasaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan pertama secara faktual sudah terlaksana sejak kemerdekaan, meski sampai saat ini masih terus dipertahankan. Sementara tujuan keempat cenderung pada peranan eksternal Indonesia dalam mendorong perdamaian dunia. Poin keempat ini juga secara konsisten telah dilaksanakan oleh pemerintah (seperti upaya mediasi presiden dalam menghentikan konflik Rusia-Ukraina beberapa waktu lalu). Apa yang belum terwujud adalah poin kedua dan ketiga, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dua poin ini–disadari atau tidak–pada dasarnya berbasis prinsip keadilan.

Tidaklah mengherankan jika kita menengok visi Indonesia 2045–sebuah momen sakral 100 tahun kemerdekaan–yang pernah dirancang Bappenas, keadilan menjadi satu aspek disamping kedaulatan dan kemakmuran–yang sejatinya dua hal terakhir juga mesti dicapai melalui keadilan. Bappenas mengoperasionalisasikannya dengan strategi mengurangi ketimpangan serta pemerataan pembangunan. Terlepas dari ketepatan perencanaan menuju visi tersebut, tampaknya tidak ada perdebatan akan esensi bahwa bangsa ini perlu mencapai keadilan sosial yang didengungkan sebagai sila ke-5 dari Pancasila.

Baca Juga: Republik Indonesia, Cita-cita Keadilan Sosial, dan Problem Ketimpangan

Bagaimana visi keadilan sosial dapat tercapai? Melalui artikel ini, saya ingin menunjukkan bahwa kolaborasi dalam penyelenggaraan negara dapat menjadi jalan untuk mencapai keadilan. Artikel ini memiliki lima sub-judul yang mencerminkan tiga babak. Pertama adalah dasar teoretis yang memijakinya. Penjabaran dasar teoretis ini sangat penting untuk memberikan kesadaran filosofis dan konteks analisis yang memposisikan konsep kolaborasi dan hubungannya dengan keadilan sosial. Kedua adalah gagasan praktikal yang termanifestasi dalam bentuk konsep dan implementasi pemerintahan kolaboratif (collaborative governance). Sementara ketiga adalah hal-hal taktis yang harus disiapkan calon pemimpin bangsa di masa depan, terutama bagi para peserta pemilu 2024.

Keadilan Sosial: Berpijak di Atas Dua Konsep

Konsep keadilan sosial sebetulnya terkait erat dengan prinsip-prinsip mengatur pembagian beban (kewajiban) dan kenikmatan (hak) dalam suatu kerjasama sosial yang termanifestasi pada sebuah institusi otoritatif bernama negara. Terma keadilan di sini berkaitan erat dengan “distribusi” (keadilan distributif) untuk membedakannya dari keadilan retributif. Istilah ini tidak keliru, akan tetapi, distribusi yang dimaksud tidaklah terbatas pada masalah ekonomi, melainkan jauh lebih luas menyangkut berbagai dimensi termasuk moral, politik, dan sosial.

Keadilan sosial hanya dimungkinkan atas dua prasyarat utama: (1) adanya kompeksitas masyarakat dan (2) kelangkaan sumber daya. Kompleksitas masyarakat termanifestasi dalam bentuk masyarakat pluralistik modern. Kompleksitas masyarakat tercemin melalui suatu struktur sosial hierarkis maupun diversitas kelompok sosial secara horizontal. Para sosiolog biasa menyebutnya dengan istilah posisi sosial untuk menunjukkan posisi individu di antara kompleksitas tersebut (entah sebagai birokrat, pedagang, pekerja pabrik, agamawan, dan seterusnya). Kompleksitas itu menentukan akses suber daya serta keberagaman nilai dan keyakinan yang dianut. Di sinilah keadilan sosial menjadi penting.

Kasus-kasus konflik dan disintegrasi suatu bangsa dapat menggambarkan bagaimana keadilan sosial menjadi penting. Misalnya, apa yang menyebabkan Uni Soviet runtuh dan terpecah pada 1991 silam setelah kedigdayaan selama lebih dari setengah abad? Jawabannya bukanlah sentimen etno-nasionalistik, melainkan karena kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal serupa juga berlaku di Indonesia, di mana letupan sentimen (baca: intoleransi) etno-nasionalitistik dan agama yang digadang menjadi ancaman persatuan bangsa, pada dasarnya juga berakar pada problem ketidak-adilan. Dengan kata lain, semakin kompleks masyarakat, semakin sentral pula peranan keadilan.

Something Happened on the Way to the Market: The Economic State of the Former USSR | The Foreign Service Journal - December 2016

Negara-negara pecahan Uni Soviet (foto: wikipedia)

Sementara kelangkaan sumber daya menjadi prasyarat kedua agar keadilan sosial dimungkinkan. Ketika segala macam sumber daya berlimpah, keadilan menjadi tidak relevan karena semua orang dapat mengaksesnya dengan mudah tanpa terkecuali. Masalahnya, kelangkaan adalah keniscayaan sepanjang zaman. Terlebih ketika ekspansi neoliberalisme, ketidak-adilan menempati problem utama oleh karena pilar kebijakan neoliberal yang memprivatisasi ruang publik (Klein, 2014). Privatisasi ruang publik yang tidak lain adalah dimensi sosial, berakibat pada melebarnya hierarki dalam struktur sosial, yang berarti menciptakan (memperburuk) ketimpangan (baru).

Setidaknya ada dua pemikir politik kontemporer–meski tidak terbatas–yang berbicara mengenai keadilan sosial: John Rawls dan Jurgen Habermas. Rawls berbicara pada konteks masyarakat Amerika, sementara Habermas di Jerman. Kendati terpisah jarak yang tidak dekat, pikiran kedua tokoh tersebut saling terkoneksi. Habermas sendiri bahkan menggali inspirasi salah satunya dari teori keadilan Rawls.

Kedua teoretikus itu berusaha menempatkan dasar bagi kerjasama sosial dalam masyarakat pluralistik yang di dalamnya memiliki keragaman kepentingan dan nilai hidup, di mana mungkin saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Bagi mereka, masyarakat modern yang plural itu harus dikendalikan oleh prinsip sebagai jaminan atas kepentingan bersama. Prinsip itu tidak lain adalah keadilan sosial atau nilai utama itu sendiri (primary of justice) yang menentukan struktur dasar masyarakat.

Nilai hidup bersama yang disebut keadilan sosial diperoleh melalui persetujuan rasional di antara warga melalui prosedur tertentu pada kedudukan bebas dan sederajat. Di sinilah persimpangan jalan antara Rawls dan Habermas terjadi. Rawls menganggap bahwa persetujuan rasional itu ditempuh melalui “teori kontrak” (keadilan kontrak), sementara bagi Habermas ia mesti ditempuh dengan “teori diskursus” (keadilan konsensus). Kedua jalan teoretis itu sangat berbeda.

Tentu yang harus disinggung pertama adalah Rawls karena ia yang meletakkan pondasi paling kokoh mengenai teori keadilan, terutama sejak lahirnya buku A Theory of Justice (1971) yang diperbarui dua dekade setelahnya lewat karya Political Liberalism (1993). Gagasan Rawls diawali dengan suatu proses kontrak di antara pihak-pihak yang pada dasarnya memiliki pandangannya sendiri mengenai “apa itu adil” menurut kepentingan masing-masing. Keadilan menurut satu pihak belum tentu adil bagi pihak lain. Inilah yang disebut sebagai posisi asali (original position).

Pihak-pihak yang berada pada posisi asali itu kemudian saling bertemu untuk menyepakati apa yang dianggap adil pada suatu wilayah (misalnya: negara) tertentu. Namun patut diingat, bahwa pihak-pihak itu diasumsikan memiliki pandangan yang rasional dan tidak mengetahui tatanan di mana nantinya ia akan menjalani kehidupan. Hal yang terakhir ini disebut sebagai selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Dalam imajinasi Rawls, mereka menyepakati keadilan (mencapai titik ekuilibrium) dengan berlandaskan pada dua prinsip utama: pengakuan atas kebebasan dasar (basic libery) dan keuntungan prioritas bagi pihak terlemah.

Secara sederhana dan parsial, proses terjadinya kontrak semacam itu dapat dibayangkan pada ruang parlemen. Kita mengasumsikan bahwa wakil-wakil di parlemen mewakili beragam kepentingan dan pandangannya masing-masing tentang keadilan. Mereka lalu bersepakat, dengan bersandar pada dua prinsip di atas, akan mewujudkan keadilan untuk masyarakat di wilayahnya. Dari kesepakatan atas keadilan itulah institusi ditata untuk mendistribusikan hak warga melalui instrumen kebijakan.

Konsepsi Rawls (yang dijabarkan di atas dengan sangat sederhana juga simplifikatif) sebetulnya menempatkannya pada apa yang disebut sebagai keadilan substantif. Bahwa keadilan adalah cara institusi sosial mendistribusikan hak dan kewajiban dalam tatanan dan kerjasama sosial tertentu. Pendistribusian itu, sekali lagi, mesti memiliki prinsip pengakuan atas basic liberty dan mengutamakan hak kelompok terlemah dalam masyarakat.

John Rawls Views on the Theory of Justice

John Rawls (sumber: politics-dz.com)

Dalam mengawali A Theory of Justice, Rawls mengungkap empat proposisi utama yang memberikan petunjuk kepada pembaca bahwa ia langsung menyasar pada elemen substantif dari keadilan. Keempat proposisi itu antara lain: pertama, sebagus dan seefisien apapun desain suatu institusi sosial, ia tetap harus diperbaiki atau bahkan diganti ketika bertindak tidak adil. Kedua, setiap orang memiliki hak yang tertanam dalam prinsip keadilan dan tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama kepentingan umum. Ketiga, keadilan tidak dapat dikompromikan dengan apapun. Keempat, keadilan hanya dapat dikompromikan (mentoleransi ketidak-adilan) untuk mencegah terjadinya ketidak-adilan lebih besar.

Hal ini sangat berbeda dengan Habermas, di mana ia mempostulatkan mengenai apa yang dipandang adil dilihat dari dimensi proses sehingga keadilan dapat tercapai. Konsepsi ini merujuk pada keadilan prosedural atau validitas membentuk kehendak bersama secara diskursif.

Mari kita berkenalan dengan apa yang disebut Habermas (1993) sebagai etika diskursus (discourse ethics) secara sederhana. Etika diskursus ini merujuk pada upaya untuk mencapai pemahaman bersama (konsensus) melalui dialog di antara berbagai pihak. Tentu saja dibutuhkan prinsip-prinsip yang memungkinkan dialog itu mencapai suatu titik konsensus adil. Prinsip pertama adalah universalitas di mana pihak-pihak yang terlibat bertindak rasional, memberikan penilaian pada level sama, dan bersedia menerima konsekuensi yang muncul. Kedua adalah prinsip validitas norma di mana pengutamaan norma diletakkan pada sesuatu yang dapat diterima bersama. Ketiga adalah prinsip konsekuensi di mana semua pihak bersedia menerima kemungkinan terburuk sekalipun. 

Pandangan etika diskursus ini menjadi fondasi penting bagi praktik demokrasi deliberatif. Deliberatif sendiri berakar pada kata deliberatio yang berarti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam bahasa Indonesia sepadan dengan terma “musyawarah”. Dengan kata lain, prinsip-prinsip yang memijaki dialog dalam etika diskursus tidak lain adalah praktik dari musyawarah itu sendiri. Sederhananya, musyawarah menjadi jalan yang adil untuk mencapai konsensus (keadilan konsensual).

Secara pragmatik, kita sebetulnya dapat mengartikulasikan konsepsi Rawls dan Habermas dalam payung yang sama untuk mencapai keadilan sosial. Kedua premis tersebut pada dasarnya hanya berada di level analisis yang berbeda. Karena tidak saling bertentangan, semestinya dapat melengkapi satu dengan lainnya. Perhatikan apa pertanyaan utama yang diajukan oleh masing-masing pemikir. Rawls mengajukan pertanyaan mengenai konsep masyarakat yang tertata (well-ordered society) sehingga keadilan tercipta. Basisnya adalah substansi. Sementara Habermas mengajukan pertanyaan mengenai ketercapaian konsensus yang adil di dalam masyarakat. Basisnya adalah prosedur.

Artinya, teori Rawls adalah manifestasi konkret dari keadilan karena hak-hak terdistribusi secara substantif. Di sisi lain, teori Habermas dapat melengkapinya dengan memberikan landasan model partisipasi warga secara deliberatif untuk mencapai konsensus (daripada sekadar melalui suatu kontrak sosial) yang memungkinkan keadilan lebih legitimatif dan fair. Singkatnya, deliberasi adalah jalan untuk mencapai keadilan. Atau jika dibalik, keadilan sosial tercapai jika proses dalam menentukan keadilan itu sendiri berjalan secara adil.

Ruang Publik sebagai Arena Kolaborasi

Tindak lanjut dari gagasan mengenai diskursus adalah apa yang disinggung oleh Habermas sebagai ruang publik (public sphere). Ruang publik ini bukan hanya infrastruktur fisik, melainkan juga sebuah ranah di mana norma dan kondisi sosial dimungkinkan untuk terjadinya dialog secara setara (equal). Pada mulanya, istilah “publik” di sini menyangkut apapun yang terkait dengan negara. Pengertian tersebut bergeser dengan menyatakan bahwa individu-individu dalam masyarakat itu sendiri yang justru membentuk ruang publik.

Pengertian ruang publik ini semakin meluas seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Kehadiran media massa di tengah aras ekspansi kapitalisme membuat ruang publik semakin termediatisasi di mana logika media mengarahkan perdebatan dan penciptaan opini. Sebagian kalangan mengkritik bahwa ruang publik kini telah terkomodifikasi oleh korporasi media yang memiliki modal ekonomi besar. Eksistensi “publik” dalam ruang publik akhirnya dipertanyakan.

Ketika teknologi informasi dan komunikasi bertransformasi secara dramatis, kekuatan “publik” dalam ruang publik kembali mendapatkan eksistensinya. Kemunculan media baru (new media) menandakan suatu era masyarakat dengan struktur sosial berbentuk jejaring (network society). Struktur semacam ini tidak lagi ditentukan dalam hierarki yang kaku, cenderung lebih datar (flat), cair, dan dinamis di mana informasi menjadi basis kerja masyarakat (paradigma informasionalisme) (Castells, 2004).

Lalu apa implikasinya terhadap eksistensi ruang publik? Pertama-tama kita harus mengetahui bahwa core dari ruang publik yang dimaksud Habermas adalah informasi berdasarkan tindakan komunikatif. Adanya struktur jejaring memungkinkan setiap individu terhubung tanpa batas dan menciptakan flow of informations dengan sangat cepat. Derasnya flow of informations ini diakibatkan karena individu bukan hanya sebagai konsumen, melainkan pada saat bersamaan juga menjadi produsen informasi. Terjadi revolusi komunikasi berkat perkembangan teknologi dari era mass-communication menuju mass-self communication (Castells, 2009).

Kondisi semacam ini jelas membuat ruang publik memiliki cakupan yang luas tanpa batasan fisik dengan interaksi sangat dinamis (space of flows) dan tidak terpengaruh pada sekat-sekat waktu (timeless time). Perdebatan dan diskursus menyesaksi ruang tidak kasat mata sebagai apa yang disebut sebagai ranah digital. Transformasi digital membentuk ruang publik yang membuat posisi para warga hampir setara dan memungkinkan mereka saling berdebat atau berdialog.

Kendati demikian, ruang publik bukanlah arena liar yang membuat perdebatan terjadi tanpa arah. Gagasan demokrasi deliberatif mestilah dikondisikan oleh pemangku otoritas yang memungkinkan para peserta di dalamnya mendiskusikan isu-isu tertentu secara terarah, dan yang penting, setara. Secara konvensional di Indonesia, manifestasi ruang publik terlihat dari penyelenggaraan kegiatan semacam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Musrenbang sendiri adalah bentuk nyata dari ruang publik yang dikreasikan. Pada skala kecil seperti pedesaan, warga dapat menyampaikan aspirasinya secara terbuka mengenai pembangunan di desanya. Mereka mengetahui jumlah anggaran, alokasinya, peruntukannya, dan ikut berpartisipasi secara substansial.

Berangkat dari contoh musrenbang skala desa di atas, kita akan melihat dua kata kunci utama: interaksi setara dan partisipasi substantif. Ini menunjukkan bahwa pemangku otoritas tidak semata menjadikan ruang publik sebagai ranah konsultatif di mana mereka hanya mendengar keluhan warganya tanpa kepastian apakah aspirasi itu diakomodasi dalam kebijakan atau tidak. Jika hanya seperti ini, tidak terjadi kesetaraan dan bukan sebuah deliberasi. Lebih dari itu, deliberasi mesti memungkinkan terjadinya kesetaraan dengan memastikan bahwa partisipasi warga bermakna dalam decision-making process. Inilah wujud ruang publik sesungguhnya yang dimaksud oleh Habermas.

Bagaimana praktiknya dengan skala lebih luas seperti negara? Agaknya terlalu utopis jika semua warga tanpa terkecuali ikut dalam proses perumusan kebijakan. Hal semacam ini secara teknis lebih dimungkinkan pada model negara kota (city-state). Namun dengan hadirnya realitas network society berkat perkembangan teknologi digital, ruang publik nyatanya dapat dioperasionalisasikan melalui apa yang disebut sebagai kolaborasi. Habermas memang tidak berbicara kolaborasi, namun, secara substantif praktik kolaborasi sangat lekat dengan keadilan konsensus. Di mana keadilan konsensus menjadi jalan terwujudnya keadilan substantif, yang pada gilirannya menjadi ikhtiar mencapai keadilan sosial.

Hal ini juga sejalan dengan studi yang dilakukan Alujevic (2020) baru-baru ini mengenai penerawangannya akan masa depan demokrasi. Menurutnya, kemajuan teknologi digital menciptakan dua tren yang menentukan masa depan demokrasi: tuntutan demokrasi yang lebih partisipatif dan pengaruh digitalisasi dalam agenda pemerintahan. Dalam skenario terbaik, demokrasi di masa depan akan termanifestasi dalam bentuk pemerintahan kolaboratif. Sementara dalam skenario terburuk, demokrasi justru terkikis habis dan melahirkan rezim autokrasi baru yang didukung dengan pengawasan ketat menggunakan perangkat teknologi.

Jika kita kembalikan pada landasan teoretis di atas, kolaborasi adalah konsensus itu sendiri untuk mencapai apa yang benar-benar dianggap adil. Kolaborasi yang didukung perangkat teknologi memungkinkan terjadinya konsensus. Ingat, bahwa dampak kebijakan secara nyata dirasakan oleh warga negara sendiri, termasuk kalangan yang diprioritaskan menurut Rawls sebagai kelompok lemah. Dengan kolaborasi, kelompok lemah ini memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka menjadi prioritas dalam merumuskan kebijakan sebagaimana proposisi Rawls lewat A Theory of Justice.

Konsep Pemerintahan Kolaboratif

Akhirnya kita sampai pada esensi teknokratik dari artikel ini, yaitu konsep kolaborasi. Dalam hal ini, perwujudan kolaborasi merujuk pada studi-studi sebelumnya mengenai gagasan pemerintahan kolaboratif (collaborative governance). Pembahasan bagian ini merangkum dan mengelaborasi sebagian gagasan collaborative governance regimes (CGR) yang juga menjadi judul buku yang ditulis oleh Kirk Emerson & Tina Nabatchi (2015).

Tentu hal pertama yang harus diurai adalah pengertian dari pemerintahan kolaboratif itu sendiri. Penggunaan istilah pemerintahan di sini sebagai terjemahan langsung dari governance sebetulnya merujuk pada sistem atau rezim yang di dalamnya mencakup tatanan hukum, regulasi, administrasi, dan prosedur untuk mengelola distribusi barang dan jasa publik (Lynn, Heinrich & Hill, 2001: 7). Persoalannya, rezim distribusi barang dan jasa publik menghadapi tantangan zaman di mana sumber daya semakin langka serta kondisi dunia yang kian tak menentu. Pemerintah sebagai pemegang otoritas sumber daya tertinggi semakin kesulitan dalam mendistribusikan barang dan jasa publik tersebut secara berkeadilan. Itulah mengapa muncul gagasan modern governance yang memiliki karakter kolaboratif.

Kolaborasi secara harafiah diterjemahkan sebagai kerjasama. Artinya, pemerintahan kolaboratif merujuk pada upaya bersama untuk memecahkan masalah publik yang tidak lagi dapat dilakukan secara sepihak. Pengertian lebih solid kemudian diungkap oleh Ansell & Gash (2008) bahwa collaborative governance adalah pelaksanaan pemerintahan di mana satu atau lebih dari agen publik (public agency) melibatkan secara langsung pemangku kepentingan (stakeholders) non-pemerintah dalam perumusan kebijakan. Proses itu terjadi secara formal, berorientasikan konsensus, dan deliberatif untuk mengimplementasikan public policy atau manajemen aset publik.

Bagaimana kolaborasi itu dapat terwujud? Di sinilah penjelasan Emerson & Nabatchi (2015) yang begitu integratif mengenai pemerintahan kolaboratif menjadi sangat relevan. Dalam kerangka berpikirnya, mereka membuat sebuah pelapisan (bayangkan seperti bawang) yang membagi antara bagian luar dan dalamnya. Bagian luar itu disebut sebagai konteks sistem (system context) sementara di dalamnya adalah CGR itu sendiri yang menaungi apa yang mereka sebut sebagai dinamika kolaborasi (collaboration dynamics).

Singkatnya, framework tersebut ingin mengungkap ada konteks sistem yang melatarbelakangi para aktor untuk berkolaborasi. Konteks itu mencakup kondisi sumber daya, kerangka hukum, tingkat kepercayaan, pengalaman kegagalan sebelumnya, dinamika politik, dan kemungkinan terbentuknya jejaring. Rasanya hampir seluruh negara di dunia berada pada sebagian dari konteks tersebut, termasuk Indonesia. Misalnya, resources yang semakin langka dan kemungkinan terbentuknya jejaring (network connectedness) berkat digitalisasi. Digitalisasi memungkinkan terbentuknya jejaring luas antara aktor negara dan non-negara secara tanpa batas. Ini menunjukkan bahwa kolaborasi dapat dilakukan secara lebih efisien.

Akan tetapi, kolaborasi juga ditentukan oleh faktor-faktor pendorong yang disebut sebagai drivers. Berbeda dari konteks sistem, drivers yang menentukan apakah kolaborasi dapat berjalan dengan baik atau justru gagal. Drivers ini mencakup kepemimpinan, insentif, ketergantungan antar-institusi, dan ketidakpastian masa depan (uncertainty). Saya akan menyisakan pembahasan secara khusus terkait kepemimpinan pada bagian akhir.

Dengan keberadaan konteks dan faktor pendorong itulah kemudian rezim kolaboratif dimungkinkan untuk terwujud. Proses kolaborasi itu sendiri melibatkan tiga aspek dasar yang saling berinteraksi dinamis: principled engagement, shared motivation dan joint capacity. Mari kita bahas singkat ketiga aspek tersebut.

Pertama adalah principled engagement yang merujuk pada kepesertaan dalam agenda kolaborasi. Proses engagement ini semakin fleksibel berkat adanya teknologi digital yang menghapus segala hambatan ruang dan waktu. Oleh karenanya, pelibatan kepesertaan ini juga semakin luas. Apa yang penting adalah pelibatan kepesertaan kolaborasi ini melibatkan aktor-aktor non-pemerintah termasuk masyarakat awam sekalipun. Pertimbangannya didasarkan pada sejauh mana masing-masing pihak memiliki kepentingan, kesediaan untuk mengidentifikasi masalah dan tujuan, dan tidak kalah penting memiliki karakter deliberatif. Basisnya adalah musyawarah untuk mufakat.

Kedua adalah shared motivation yang merujuk pada elemen saling percaya (mutual trust) dan memahami (mutual understanding). Istilah lain dengan pengertian serupa adalah apa yang dikatakan oleh James Coleman dan Robert Putnam sebagai modal sosial. Kepercayaan menjadi basis penting dari kolaborasi. Sebaliknya, kolaborasi semakin sulit tanpa adanya rasa saling percaya. Elemen ini akan berkaitan erat dengan pengalaman konflik dan sentimen sebelumnya. Fenomena merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah di Eropa (lihat: Castells, 2017) dapat menjadi penghambat utama kolaborasi. Namun, di Indonesia justru masyarakat masih memiliki kepercayaan tinggi terhadap pemerintah.

Ketiga adalah joint action yang menyangkut peningkatan kapasitas pada masing-masing pihak untuk menyelesaikan masalah kompleks secara bersama-sama. Pada dimensi ini, Emerson & Nabatchi (2015) menyebut tiga elemen kapasitas. Pertama adalah kepemimpinan yang mendorong kolaborasi, kedua adalah kapasitas institusi dalam mengambil peran pemecahan masalah, ketiga adalah sumber daya para pihak, dan keempat adalah pengetahuan (knowledge). Pengetahuan menjadi elemen krusial karena dari sinilah para pihak memahami peranan, posisi, dan urgensi dari kolaborasi itu sendiri.

Konsepsi pemerintahan kolaboratif yang dijabarkan di atas memperlihatkan bagaimana basis operasional dari terlaksananya kolaborasi. Saya akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana keterkaitan antara kolaborasi dan keadilan sosial pada bagian berikutnya. Artikel ini kemudian ditutup dengan peranan dan tantangan pemimpin baru di masa yang akan datang

Dari Kolaborasi Menuju Keadilan Sosial

Kolaborasi adalah manifestasi operasional yang paling relevan dari gagasan demokrasi deliberatif. Bentuk semacam ini sangat mungkin (possible) dan masuk akal (plausible) untuk diterapkan pada konteks negara-bangsa dengan struktur politik dan sosial yang kompleks seperti Indonesia. Selain itu, realitas network society yang menghubungkan berbagai macam pemangku kepentingan secara fleksibel memungkinkan kolaborasi berjalan secara efisien. Intinya, kolaborasi adalah tindak lanjut untuk mencapai demokrasi yang lebih substantif.

Apakah dengan demikian demokrasi yang berjalan saat ini telah gagal memenuhi keadilan sosial? Kita harus akui bahwa kinerja demokrasi cukup fantastis dalam dua dekade ini. Akan tetapi, praktik demokrasi saat ini masih belum menyentuh substansi dasarnya: partisipasi masyarakat. Padahal, keadilan sosial hanya akan tercapai apabila warga mampu berpartisipasi tidak hanya menyalurkan aspirasi semata. Lebih dari itu, warga dapat terlibat sebagai bagian dari decision-making process. Inilah yang disebut kolaborasi, atau do-it-together.

Agar memperjelas, saya akan memberikan dua konteks mengapa kolaborasi menjadi penting untuk memperkuat demokrasi, yang pada gilirannya memaksimalkan keadilan. Pertama adalah kegagalan demokrasi liberal seperti yang ditampilkan pada negara-negara Barat terutama Eropa. Setidaknya sejak 2017, terjadi kemerosotan tajam akan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mereka. Survei-survei terkini menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen warga negara di Eropa tidak lagi mempercayai lembaga-lembaga publik di sana.

Lewat pengertian lain, ketidakpercayaan tersebut adalah bentuk kemerosotan dari praktik representasi politik dalam demokrasi modern. Representasi politik itu tidak lain adalah proses yang dicapai melalui pemilihan umum. Artinya, ada proses yang keliru dalam melahirkan pemimpin melalui pemilu, hingga kepercayaan merosot begitu tajam.

Sampai di sini mungkin belum jelas, mengapa demokrasi liberal terseok-seok? Kita dapat memulai dari definisi paling minimal dari demokrasi liberal: adanya praktik elektoral yang free and fair, serta kebebasan sipil untuk menyuarakan aspirasi, berserikat, dan menjunjung tinggi HAM. Apa yang tidak terakomodasi dalam demokrasi liberal adalah partisipasi substansial.

Kebebasan ekspresi dan berserikat memang bentuk partisipasi, akan tetapi, apakah mereka juga menjadi pihak determinan dalam menentukan kebijakan? Dalam praktik demokrasi liberal, jawabannya tentu saja tidak. Peluang partisipasi substansial itu akan muncul ketika praktik demokrasi digeser menjadi suatu model yang disebut Habermas sebagai deliberatif. Ingat, demokrasi berakar dari kata “demos”, yang berarti rakyat-lah pemegang kekuasaan tertinggi. Jika memang demikian, demos harus terlibat aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri (partisipasi substansial).

Kembali pada keruntuhan kepercayaan terhadap pemimpin. Ternyata akar persoalannya tidak lain adalah ketidakpuasan warga terhadap kondisi hidup yang kian tidak baik dan tidak menentu. Castells dalam bukunya yang berjudul Rupture: The Crisis of Liberal Democracy (2017) mengatakan bahwa akar tersebut bermula dari krisis finansial 2008. Krisis yang jaraknya semakin dekat tidak diiringi oleh kapasitas pemimpin dalam merespons secara tanggap. Akibatnya, kondisi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat semakin buruk. Ketimpangan pun semakin menganga. Ada problem ketidak-adilan yang menyeruak.

Perhatikan akibat lanjutan dari problem itu. Sentimen primordial menguat di berbagai negara Eropa dan Amerika. Pemimpin populis yang tidak kompeten naik ke tampuk kekuasaan. Rasisme semakin menjadi-jadi. Partai sayap kanan (fasis) mengisi kekosongan panggung kuasa karena praktik representasi politik yang selama ini dipraktikkan dianggap gagal. Dari sini akhirnya kita paham, bahwa intoleransi (meminjam istilah yang sering digaungkan pemerintah Indonesia) pada dasarnya bukanlah sebab, melainkan akibat dari ketiadaan keadilan sosial.

Konteks kedua adalah semakin tidak relevannya bentuk pemerintahan yang semata berorientasi pelayanan. Pemerintahan berorientasi pelayanan hanya menempatkan warga sebagai konsumen atau aktor pasif. Mereka hanya menerima kebijakan sebagai barang jadi, seolah pemimpin mengetahui segala hal yang dibutuhkan masyarakatnya (do-it-alone).

Walhasil, pemimpin dalam model pemerintahan ini terjebak pada upaya untuk mempertahankan kepuasan masyarakat. Menjaga elektabilitasnya agar tidak jatuh pada siklus pemilu lima tahunan. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung berjangka pendek dan tidak berani mengambil risiko. Pemimpin semacam ini terjebak pada kebijakan tambal sulam. Bertahun-tahun, misalnya, membiarkan subsidi energi dikeluarkan untuk memuaskan masyarakat. Ketika terjadi kebocoran, solusinya pun tetap diupayakan agar tidak menjatuhkan kepuasan masyarakat (misalnya dengan pemberian bantuan langsung). Tidak ada langkah reformasi serius menuju energi terbarukan. Sementara lembaga-lembaga survei yang mengukur kepuasan semakin laris-manis.

Persoalannya, bentuk pemerintahan semacam ini nyatanya masih dominan di Indonesia. Para pemimpin merasa paling tahu apa yang dibutuhkan warganya. Kalaupun dilibatkan, hanya sebatas konsultatif seperti mengundang di kegiatan rapat dengar pendapat (RDP) yang biasa dilakukan oleh DPR. Bahkan celakanya, belakangan ada kecenderungan otoritarian di mana kritik semakin sulit dilancarkan. Pasal karet dibuat untuk membaurkan esensi kritik dengan penghinaan.

Dalam skenario masa depan Indonesia 2045 yang dirancang ILUNI UI (2022), membiarkan penyelenggaraan negara yang do-it-alone akan menciptakan fragmentasi antara pemimpin dan masyarakat. Pemimpin dan masyarakat memiliki imajinasinya masing-masing tentang visi bangsa. Padahal, pandemi Covid-19 telah mengajarkan bahwa tata kelola do-it-alone tidak lagi relevan. Krisis hebat yang mungkin akan terjadi lagi di masa depan hanya dapat teratasi jika perspektif governance diorientasikan pada kolaborasi (do-it-together).

Skenario paling maksimal dari model do-it-alone, sebagaimana disebut dalam dokumen ILUNI UI, adalah “tanah tak bertuan”. Kondisi ini terjadi dengan catatan bahwa kepemimpinan masih berjalan dengan efektif dan masyarakat memiliki cadangan resiliensi. Akan tetapi, resiliensi masyarakat tidak akan bertahan tanpa dukungan pemerintah. Bayangkan jika pemimpin justru tidak efektif, di mana oligarki semakin dominan dalam panggung politik, potensi terjebak pada skenario “jurang dalam” semakin besar. Bukan hanya visi bangsa yang tidak tercapai, melainkan negara ini juga terancam disintegrasi secara serius karena keadilan sosial telah pudar.

Sebagaimana disebut di muka, proses politik yang adil adalah cara untuk mencapai keadilan sosial. Kolaborasi adalah bentuk proses politik yang adil karena masyarakat menjalankan peran sebagai “demos” sesungguhnya dalam demokrasi. Hal ini pada gilirannya akan melahirkan suatu keadilan substantif karena yang tahu keadilan bagi masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Itulah mengapa pemerintahan kolaboratif menjadi sangat penting.

Sekali lagi, keadilan sosial adalah jiwa yang melekat dalam visi bangsa jika merujuk pada amanat konstitusi. Kemakmuran dan kesejahteraan didasari pada keadilan. Sementara kebijakan jangka panjang seperti upaya reformasi pengelolaan sumber daya alam (SDA), pemanfaatan teknologi, dan penguatan sumber daya manusia (SDM) juga berbasiskan pada prinsip keadilan. Tentu saja dengan melihat secara aktual faktor pendorong, trends dan megatrends yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat di masa depan (system context).

Kolaborasi menjadi agenda negara yang harus dijalankan dalam waktu dekat. Ruang-ruang publik yang setara mesti diaktivasi agar kolaborasi dapat terjalin. Terlebih Indonesia secara hukum mengakui otonomi daerah. Hal strategis yang perlu dijalin pertama adalah kolaborasi pusat-daerah. Agar jangan sampai ada “teriakan” daerah seperti kasus Bupati Meranti baru-baru ini karena merasa tidak diperlakukan adil. Sayangnya, respons pemerintah pusat justru bereaksi negatif, mencari pembenaran dan menyerang balik agar tidak disalahkan. Rasanya sulit untuk membentuk collaborative governance saat ini. Kita perlu ada pembaharuan paradigma dalam memimpin bangsa dan negara yang momentumnya adalah pemilu 2024. Pemilu itu kini semakin dekat di depan mata.

Peran Pemimpin (Masa Depan)

Studi-studi yang berbicara mengenai collaborative governance selalu menyinggung peran kepemimpinan (politik) di samping desain institusi publik. Ansell & Gash (2008), misalnya, menempatkan dimensi kepemimpinan sebagai starting point (titik awal). Artinya, kolaborasi tidak akan pernah terjadi tanpa ada demand dari pemimpin politik. Sementara Emerson & Nabatchi (2015) justru menempatkan kepemimpinan dalam posisi yang lebih krusial lagi, yaitu sebagai driver. Dengan menempatkannya sebagai driver, kepemimpinan tidak hanya menjadi titik permulaan sebelum kolaborasi terjadi. Lebih dari itu, kepemimpinan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan ketika kolaborasi itu sedang diejawantahkan.

Sebetulnya ada beberapa konsep kepemimpinan yang berkaitan dengan collaborative governance. Ansell & Gash (2018) menyebutnya sebagai kepemimpinan fasilitatif (fasilitative leadership). Kepemimpinan fasilitatif artinya kemampuan pemimpin untuk membawa para pihak dalam ruang yang sama dengan menetapkan aturan dasar, kepercayaan, kesetaraan dialog, dan mampu mengeksplorasi apa insentif/keuntungan bersama. Prinsip ini sejalan dengan deliberasi Habermasian di mana dialog selayaknya difasilitasi dalam ruang publik setara, berbasis kapasitas komunikatif, serta memberdayakan pihak paling lemah. Kapasitas komunikasi menjadi kunci bagi pemimpin untuk membangun trust dalam kolaborasi.

 Emerson & Nabatchi (2015: 47) memperkenalkannya dengan istilah initiating leadership sebagai faktor pendorong paling esensial (the most essential driver) dalam membentuk kolaborasi. Initiating leadership memiliki karakter fasilitatif dengan tambahan kapasitasnya dalam mendorong motivasi para aktor untuk berkolaborasi. Kapasitas itu termanifestasi dalam bentuk kekuatan visi serta kemampuan mengelola konteks sistem (system context) yang mencakup ketidakpastian kondisi masa depan, dinamika politik, serta peta ketergantungan para aktor.

Karakter kepemimpinan semacam itu, secara spesifik juga berkaitan dengan wirausahawan kebijakan (policy entrepreneur). Karakter ini mengasumsikan bahwa suatu kebijakan mestinya juga didorong oleh inovasi sebagaimana yang dilakukan oleh para entrepreneur. Policy entrepreneur memiliki atribut unik seperti ambisius (visioner), kepekaan sosial (keberpihakan pada yang lemah), kredibilitas, ramah (demokratis), dan gigih (pantang menyerah). Sementara kemampuan yang melekat dalam policy entrepreneur antara lain mampu berpikir strategis (strategic thinking), membangun tim, berbasiskan bukti dan peduli terhadap sains, komunikasi publik, negosiasi, jejaring, dan kolaborator ulung (Mintrom, 2019).

Sebetulnya karakter kepemimpinan semacam itu tidak hanya berlaku bagi pemimpin politik di lembaga negara. Kepemimpinan itu juga dapat muncul dan/atau terbentuk pada organisasi-organisasi di luar pemerintah (non-government actors). Bahkan dalam beberapa kasus (seperti collaborative governance energi angin di Xinjiang dan Guangdong), inisiasi kolaborasi justru muncul dari bawah (bottom up). Walaupun demikian, peranan pemimpin politik (pemerintah) tetap sentral karena merekalah yang memegang kunci koordinasi dan kerjasama antara berbagai pihak. Oleh karenanya, karakter kepemimpinan yang berorientasi pada kolaborasi (facilitative / initiating leadership) mutlak diperlukan pada level pemerintah.

Pemilu 2024 mendatang menjadi momentum penting dalam memilih pemimpin yang berorientasi pada kolaborasi. Pemimpin terpilih itu, nantinya akan menjadi driver yang menentukan apakah collaborative governance akan terlaksana atau justru tidak sama sekali. Kolaborasi ini tidaklah kasuistik dan parsial untuk urusan tertentu. Lebih dari itu, kolaborasi mesti menjadi paradigma utama dalam perumusan public policy negara. Termasuk bagaimana membangun paradigma itu hingga level daerah lewat konteks otonomi daerah. Pada gilirannya, pemimpin semacam inilah yang kelak akan mempertahankan demokrasi Indonesia.

Tantangan lima tahun pertama dalam mencapai visi keadilan sosial adalah penguatan kelembagaan demokrasi untuk mencapai demokrasi substansial. Penguatan ini juga dilakukan beriringan pada kelembagaan sosial-ekonomi-budaya yang menjadi ekosistem bagi kemunculan resiliensi dalam masyarakat. Demokrasi substantif (perspektif Habermasian) menjadi cara paling legitimatif untuk membentuk penataan institusi sosial yang adil (perspektif Rawlsian). Hal ini dikarenakan keadilan konsesus tidak hanya menyasar desain institusi, lebih dari itu, ia sangat peka terhadap struktur sosial yang menjadi akar ketidak-adilan. Demokrasi substantif memberikan kekuatan kepada pihak paling lemah untuk berpartisipasi aktif dalam merumuskan policy, dan yang lebih penting, kebijakan itu berpihak pada mereka. Inilah esensi keadilan yang paling dasar, yaitu mengungkit hak kelompok sosial terlemah dalam masyarakat.

Tentu saja dibutuhkan kepekaan konteks para pemimpin politik atas kondisi negara dan megatrends global. Mereka tidak hanya memfasilitasi para pihak dalam dialog setara seolah pemimpin diarahkan oleh pihak-pihak lain (market driven). Justru sebaliknya, para pemimpin mengarahkan pihak-pihak tersebut menuju visi yang sama (market driver). Para pemimpin yang memiliki imajinasi masa depan mampu mengkomunikasikannya kepada masyarakat, dan mengajak mereka untuk berkolaborasi.

Masalahnya, teori di atas kertas tidak akan berarti apapun tanpa aksi nyata. Maka peran kita sebagai warga adalah memilih pemimpin yang setidaknya memiliki karakter-karakter di atas.

***