-
Setiap manusia Indonesia berhak mendapatkan pemenuhan gizi seimbang guna mendukung tumbuh kembang fisik yang baik dan sehat.
-
Sayangnya, malnutrisi hingga stunting masih jadi masalah besar di Indonesia. Tak semua masyarakat punya akses pada makanan bergizi.
-
Tidak terpenuhinya makanan bergizi yang merupakan kebutuhan dasar, dikhawatirkan dapat memantik krisis ekonomi diikuti krisis demokrasi.
Oleh: Fathur R. Arroisi
Kadar gizi dalam asupan makanan memiliki peran vital dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia terutama bagi anak dan remaja. Pola makan dengan gizi optimal dapat memberikan kesehatan paripurna, barat badan normal, dan metabolisme yang baik sehingga seseorang tidak mudah terinfeksi penyakit dan produktif dalam kesehariannya.
Di Indonesia konsumsi ideal dikenal oleh banyak orang dengan konsep “empat sehat lima sempurna” (menu makan pokok, lauk, sayur, buah, dilengkapi susu), namun tidak banyak yang tahu bahwa konsep ini sudah sangat tua, muncul tahun 1952 silam.
Seiring perkembangan dan penyempurnaan ilmu gizi, para ahli berkesimpulan bahwa empat sehat lima sempurna tidak lagi relevan dan akhirnya diganti dengan pedoman gizi seimbang bernama “isi piringku”. Isi piringku adalah pedoman yang disusun oleh Kementerian Kesehatan Indonesia untuk mengampanyekan pola makan gizi seimbang berupa satu porsi piring yang terbagi atas 50 persen buah dan sayur, serta 50 persen sisanya terdiri atas karbohidrat dan protein.
Totalnya ada sepuluh pesan kampanye yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi empat pesan pokok yakni pola makan gizi seimbang (dijelaskan di atas), air putih 8 gelas sehari, aktivitas fisik 30 menit per hari, dan mengukur tinggi dan berat badan yang sesuai untuk mengetahui kondisi tubuh. Keseimbangan di antara keempat pesan pokok kampanye tersebut diyakini oleh Kementerian Kesehatan dapat mencetak sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas di masa depan.
Menyoal Kecukupan Gizi
Indonesia telah lama mengikuti model pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) dengan melakukan perbaikan struktural di sektor pendidikan dan kesehatan. Walau begitu, belum ada peningkatan signifikan pada status pemenuhan gizi hingga saat ini. Konsekuensinya jutaan anak-anak dan remaja Indonesia dihantui dengan persoalan stunting, wasting, atau beban ganda malnutrisi. Berdasarkan data yang dihimpun, muncul kesimpulan bahwa jumlah anak yang mengidap stunting sudah berada di level yang mengkhawatirkan, yakni 31,8% dari total populasi anak-anak.
Dampak jangka panjang malnutrisi merupakan masalah yang semakin genting. Hal ini terungkap dari laporan “The State of Food Security and Nutrition in the World 2022” oleh Food and Agriculture Organization (FAO), mencatat bahwa tren jumlah penderita kurang gizi di skala global terus meningkat dalam lima tahun terakhir, sebagaimana tergambar dalam infografis berikut;
Pada tahun 2017, populasi dunia yang menderita kekurangan gizi mencapai 573 juta orang dan konsisten bertambah hingga 767,9 juta orang pada 2021. Menurut data 2021, penderita kurang gizi paling banyak berada di kawasan Asia, yakni 425 juta orang. Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita kekurangan gizi terbesar di regional Asia Tenggara.
Hal ini dibuktikan dengan kalkulasi FAO tentang rata-rata jumlah penduduk kurang gizi di Asia Tenggara periode 2019-2021, di mana posisi pertama diisi Indonesia dengan jumlah 17,7 juta orang. Lalu posisi kedua diisi oleh Thailand dengan jumlah 6,2 juta orang, dan posisi ketiga ditempati Filipina dengan jumlah 5,7 juta orang. Merespons masalah ini, FAO mendorong negara-negara memperbaiki kebijakan sektor pertanian, agar bahan pangan sehat bisa dijangkau oleh warga negara berpendapatan rendah.
Hal senada juga ditemukan dalam investigasi tim jurnalisme data Harian Kompas mengenai perhitungan biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang. Terungkap bahwa uang sejumlah Rp 22,136 per hari atau Rp 663,791 per bulan adalah batas minimal yang perlu dimiliki seseorang untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbangnya (menu porsi seimbang antara makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak, sayuran, buah, dan air minum). Perhitungan tersebut mengacu pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket yang sampai sekarang digunakan oleh FAO. Terlampir infografis yang dirilis oleh tim Litbang Kompas;
Dengan besar biaya yang disebutkan di atas terungkap bahwa 68% atau 183,7 juta orang Indonesia termasuk masyarakat tidak mampu memenuhi biaya kebutuhan gizi seimbang. Investigasi tersebut juga mengungkap tiga daerah teratas dengan persentase penduduk yang tidak bisa mengakses makanan bergizi yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan rasio sebesar 78 persen, Maluku Utara 70 persen, dan Sulawesi Barat 69 persen. DKI Jakarta sendiri berada di tiga besar persentase terendah dengan angka 28 persen. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh rendahnya pendapatan di antara sebagian besar rumah tangga dan diperburuk dengan tingginya harga pangan, terutama di wilayah Timur Indonesia.
Distopia Keruntuhan Pangan = Keruntuhan Demokrasi
Dalam pembangunan ekonomi yang sudah maju, jika dihadapkan dengan adanya krisis kebutuhan dasar dan situasi surplus sosial yang besar, warga negara tidak cuma menyadari dan merespons krisis tersebut dengan lebih sigap, namun juga akan lebih menganggap keberadaan krisis kebutuhan dasar sebagai hal yang sulit diterima akal sehat. Warga negara akan menuntut secara radikal dan memprovokasi ruang publik agar penguasa menghadirkan keadilan redistributif.
Kombinasi pembangunan ekonomi dan krisis kebutuhan dasar yang berkelanjutan adalah kondisi yang dinamakan oleh Reenock, Bernhard, dan Sobek sebagai distribusi sosio-ekonomi regresif (regressive socio-economic distribution), kondisi yang akan mengancam kelangsungan hidup demokrasi. Dengan menganalisis peristiwa sejarah dari sampel negara-negara demokrasi dalam rentang tahun 1961 hingga 1995, mereka menyimpulkan bahwa krisis kebutuhan dasar sebagai bagian distribusi sosio-ekonomi yang regresif akan menambah risiko penggulingan pemerintahan demokratis di masing-masing negara.
Contoh di Indonesia sendiri krisis ekonomi yang beriringan dengan krisis harga pangan di tahun 1997-1998 pernah menciptakan keruntuhan ekonomi dan politik disertai gerakan sosial yang menuntut perubahan struktural masif. Tentunya semua dampak krisis pemenuhan gizi yang telah saya jelaskan di atas bukan suatu kondisi ideal jika kita ingin mewariskan Indonesia kepada generasi penerus masa depan. Makanan dan minuman bergizi sebaiknya sudah tidak lagi dianggap sebagai komoditas ekonomi semata; mereka adalah komoditas yang memiliki fungsi sosial dan politik di tingkat nasional dan global. Krisis makanan dan minuman bergizi tidak semata-mata menjerumuskan generasi muda dalam lingkaran kemiskinan, kelaparan, kebodohan, penyakit, masalah sosial; jika dibiarkan berlarut dalam jangka panjang akan memberikan konsekuensi serius pada stabilitas negara.
***