Sistem Pemilu Proporsional Terbuka adalah Pilihan Paling Demokratis

by | Apr 11, 2023

  • Sejumlah pihak menggugat UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke MK untuk mengembalikan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Alasannya selain inkonstitusional dan melemahkan partai politik, juga menelan biaya besar dan memicu politik uang.

  • Mengembalikan pemilu pada sistem proporsional tertutup jelas mengancam demokrasi. Apalagi mayoritas publik ingin memilih langsung wakilnya di parlemen.

  • Menguatkan pelembagaan partai politik justru tidak bisa dilakukan jika merebut hak rakyat untuk memilih langsung calonnya. Partai politik justru semakin kuat secara kelembagaan jika punya relasi langsung yang kuat dengan rakyat, terutama dalam penentuan anggota legislatif.

Pemilihan umum (pemilu) menjadi prosedur negara demokrasi penting untuk memilih pemimpin yang akan menduduki kursi legislatif ataupun eksekutif. Oleh karenanya, pemilu juga harus dijalankan dengan prosedur yang demokratis.

Salah satu isu krusial di dalamnya adalah implementasi sistem pemilu proporsional terbuka yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak 2004, dan kini digugat oleh sebagian pihak karena dianggap inkonstitusional. Gugatan itu mengacu pada permohonan uji materiil (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Berbagai alasan dilontarkan untuk menyatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi. Alasan paling utama adalah sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan partai politik dan lebih mengunggulkan individu.

Menurut penggugat, peserta pemilu secara eksplisit adalah partai politik bukan perorangan. Imbasnya, kualitas kaderisasi partai dianggap semakin menurun karena hanya mengunggulkan popularitas di atas kualitas.

Sementara alasan lain yang dilontarkan bahwa sistem proporsional terbuka menelan biaya pemilu yang mahal sementara kualitas anggota parlemen semakin buruk karena dipilih hanya berdasarkan popularitas. Efek sampingnya adalah semakin maraknya politik uang terutama oleh para kandidat yang memilih jalan pintas meraih suara.

Maka dari itu, menurut pihak tersebut, sistem pemilu proporsional tertutup dianggap lebih baik dan mampu menguatkan fungsi kaderisasi kepemimpinan dalam tubuh partai politik.

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Lebih Demokratis

Kenyataannya, UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit bagaimana sistem pemilu itu mesti dilaksanakan. Memang benar bahwa pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta pemilu adalah partai politik, namun tidak dapat serta-merta dimaknai sebagai sistem pemilu proporsional tertutup.

Karena pada dasarnya, peserta pemilu dengan sistem proporsional terbuka tetaplah partai politik. Kandidat (kecuali DPD) tidak dapat mencalonkan diri untuk jabatan legislatif tanpa melalui partai politik. Dengan demikian, sistem pemilu proporsional terbuka tetaplah konstitusional.

Maka pilihan sistem pemilu mesti mempertimbangkan mana yang paling demokratis di antara keduanya: apakah sistem pemilu proporsional tertutup, atau justru terbuka?

Berdasarkan survei dari Litbang Kompas, mayoritas publik lebih menginginkan pemilu dengan sistem proporsional terbuka ketimbang tertutup. 67,1 % responden ingin memilih sendiri calon legislatifnya, sementara hanya 17 % yang mau menyerahkan penentuan calon terpilih kepada partai dan sisanya 15,9% memilih tidak tahu.

Ikut Simulasi Penyederhanaan Surat Suara di Bali, Fritz Paparkan Potensi Masalah Pindah Memilih | Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia

Simulasi pemungutan suara (foto: Bawaslu RI)

Hasil survei di atas menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka lebih demokratis karena publik memiliki peluang partisipasi yang besar dalam menentukan pilihan calon pemimpinnya melalui pemilu.

Alih-alih merampas kedaulatan rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung dengan mengubah sistem pemilu, partai politik semestinya mengevaluasi proses internal organisasinya karena tidak mampu menyajikan kandidat yang berkualitas kepada publik.

Dengan upaya mengembalikan pemilu pada mekanisme tertutup, partai politik seolah menyalahkan publik atas kegagalannya menghadirkan kandidat terbaik. Ibarat kata pepatah, buruk muka cermin dibelah.

Menurut Ilmuwan Politik asal John Hopkins University, Richard S Katz, kandidat menggambarkan wajah partai dalam pemilu. Semakin berkualitas kandidat artinya semakin berkualitas pula seleksi dalam internal partai. Begitupun sebaliknya, ketika partai gagal menghadirkan kandidat terbaik, berarti seleksi internal atau demokrasi internal partai politik tidak berkualitas.

Menurut penelitian yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2019, mayoritas partai politik gagal menyajikan proses rekrutmen kandidat calon anggota legislatif (caleg) yang terbuka. Dari 14 partai politik peserta pemilu 2019, hanya partai Demokrat, Nasdem, Garuda, PBB dan PSI yang memiliki informasi dan mekanisme seleksi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) secara terbuka.

Sementara mayoritas 9 partai lain tidak menyajikan informasi pendaftaran bacaleg sama sekali. Padahal menurut Ilmuwan Politik, Gideon Rahat, inklusivitas dalam seleksi kandidat oleh partai politik adalah cerminan dari kualitas demokrasi suatu partai politik.

Guna meningkatkan kualitas demokrasi dalam partai politik, partai harus bisa menjamin keterlibatan publik, seluruh anggota partai dalam pemilihan kandidat, bukan hanya panitia atau badan tertentu dalam partai yang menentukan.

Dengan partisipasi publik tersebut, akan terjalin koneksi elektoral yang aktif antara partai dan publik sehingga akan menekan partai dan kandidat terpilih untuk tanggap terhadap kebutuhan dan keluhan publik.

Sementara, mengubah sistem pemilu yang telah berada pada mekanisme proporsional terbuka kembali kepada mekanisme proporsional tertutup jelas-jelas akan menghilangkan partisipasi publik kembali pada elitisme partai politik. Di mana hanya pimpinan partai yang menjadi penentu caleg dan bukan publik itu sendiri.

Pelembagaan Partai Politik Seiring Kedaulatan Rakyat

Proses persidangan uji materiil Undang-Undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilu masih bergulir di MK. Upaya sejumlah partai melakukan gugatan itu menunjukkan kegagalan partai dalam membangun pelembagaan partai politik yang berkualitas dan menyalahkannya pada publik.

Harapannya, dengan merebut hak rakyat untuk menentukan calonnya dan memberi kuasa pada elite partai, pelembagaan parpol bisa dibangun. Itulah letak salah kaprah utama dari penggugat yang memahami pelembagaan partai hanya sebatas pada kekuasaan penuh elite-nya.

KPU tetapkan 17 partai politik peserta Pemilu 2024 - ANTARA News

Partai Politik peserta Pemilu 2024 (foto: Antara)

Paradigma semacam itu justru tidak akan menguatkan pelembagaan partai politik yang tujuan utamanya adalah meningkatkan demokrasi, namun justru menguatkan dominasi elite partai politik sebagai oligarki.

Celakanya, paradigma semacam ini justru mendominasi pemikiran para politisi. Peristiwa terbaru di mana Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menyebut kuasa utama untuk menggolkan sebuah undang-undang ada pada keputusan Ketua Partai Politik, bukan DPR RI sebagai wakil dari rakyat.

Oleh karena itu, pelembagaan partai politik tak bisa lepas dari aspirasi dan partisipasi publik. Jika pelembagaan itu minus partisipasi publik, hal yang terjadi menurut Richard S Katz dan Peter Mair, partai politik hanya akan menjadi partai kartel di mana sekelompok elite menguasai sumber daya negara hanya untuk kepentingan kelompoknya semata.

Maka guna menghindarinya, pelembagaan partai politik harus mampu meningkatkan partisipasi di tingkat masyarakat bawah atau civil society (party in grass roots) dalam melakukan agregasi kepentingan maupun pembentukan identitas partai.

Guna mewujudkan pelembagaan partai politik yang demokratis, maka langkah yang diperlukan jelas-jelas adalah reformasi partai politik. Dan reformasi tersebut hanya bisa ditempuh dengan jalan proporsional terbuka dalam pemilu.

Ragam kekurangan dalam sistem proporsional terbuka seperti melemahnya parpol dan menguatnya individu hingga maraknya politik uang, harus diperbaiki partai politik dengan mereformasi kondisi internalnya. Bukan merampas hak publik dalam memilih wakilnya secara langsung, yang justru bakal memukul mundur demokrasi.

Redaksi BersamaIndonesia

***